Rabu, 03 Maret 2010

PROFILE GATOT PUDJO MARTONO " Bertekad Berbuat Yang Terbaik Untuk Angkasa Pura I"


Nama:
Gatot Pudjo Martono

Lahir:
Purworejo, Mei 1943

Pendidikan:
Penerbang TNI AU 1965

Pengalaman Pekerjaan:
Penerbang di Skuadron II Halim Perdanakusuma, 1965
Penerbang sipil di Merpati Nusantara Airlines
Penerbang sipil di AOA Zamrud Airlines.
Ditugaskan di maskapai penerbangan Dirgantara Air Service (DAS) dan Air Indonesia (Medan).
Kepala Pelabuhan Udara (Kapelud) Bandara Polonia Medan, 1983.
Direktur Operasi PT Angkasa Pura I, 1989-1998.
Direktur Utama PT Angkasa Pura I, 1998-2003.

Sumber:
Sinar Harapan Senin, 06 Oktober 2003/Krisman Kaban
Diolah oleh Sua,-

Selama menjabat Direktur Utama PT Angkasa Pura I, ia merasa cukup enjoy karena bisa melaksanakan tugas dengan baik. Dari sisi pelayanan, lima dari 13 bandara yang dikelola PT AP I (Bandara Ngurah Rai, Bandara Sepinggan, Bandara Selaparang, Bandara Juanda, Bandara Hasanuddin) mendapat penghargaan pelayanan prima dari Menteri Perhubungan. Ia berjuang keras untuk menjadikan kelima bandara itu dapat diandalkan di Asia Pasifik.

AP I yang berdiri pada 20 Februari 1962 mengelola bandara di kawasan tengah dan kawasan timur Indonesia. Mulai dari bandara Adisumarmo (Surakarta), bandara Adisutjipto, (Yogyakarta), bandara Ahmad Yani (Semarang), bandara Juanda (Surabaya), bandara Ngurah Rai (Bali), bandara Hasanuddin (Makassar), bandara Sepinggan (Balikpapan), bandara Syamsudin Noor (Banjarmasin), bandara Sam Ratulangi (Menado), bandara Pattimura (Ambon), bandara Selaparang (Lombok), bandara El Tari (Kupang), dan bandara Frans Kaisiepo (Biak).

Dari semua bandara tersebut, sembilan di antaranya berstatus internasional. Namun, hanya beberapa bandara saja yang aktif melayani penerbangan internasional seperti Ngurah Rai, Juanda, Hasanuddin, Sam Ratulangi, dan Sepinggan. Bandara internasional lainnya beberapa tahun terakhir tidak lagi melayani penerbangan internasional karena bisnis penerbangan sedang mengalami keterpurukan.

Gatot Todjo Martono lahir di Purworejo, Mei 1943. Ia merupakan lulusan penerbang TNI AU tahun 1965 yang ketika menyelesaikan pendidikan dilantik oleh Presiden Soekarno di Istana Negara. Setelah lulus ditempatkan sebagai penerbang di Skuadron II Halim Perdanakusuma. Selain itu, juga berperan sebagai penerbang sipil di Merpati Nusantara Airlines dan juga AOA Zamrud Airlines. Kemudian pernah ditempatkan di maskapai penerbangan Dirgantara Air Service (DAS) serta Air Indonesia (Medan).

Tahun 1983 ia ditugaskan sebagai Kepala Pelabuhan Udara (Kapelud) Bandara Polonia Medan. Pada tahun 1989 dilantik menjadi Direktur Operasi di PT AP I. Dan tahun 1998 hingga 2003 menjabat sebagai Direktur Utama.

Masa jabatan di PT (persero) Angkasa Pura I dilaluinya dengan gemilang dan pencapaian target yang ditentukan oleh Kementrian BUMN selalu dapat dipenuhinya keuntungan yang diberikan kepada Negara tak hanya dinikmati oleh negara saja tetapi semuanya dari kerja keras Karyawan PT (Persero) Angkasa Pura I dan itu yang utama yang harus bisa merasakan jerih payahnya, untuk itu kesejahteraan karyawan tidak pernah terabaikan dan selalui didialogkan dengan karyawan melalui Serikat Pekerja Angkasa Pura I (SP. AP.I)

Bagi Gatot Pudjo Martono, sudah mengabdi sekitar 30 tahun dan diusia yang sudah 60 tahun dia menghadap Menteri BUMN waktu itu Bapak Agum Gumelar yang menceritakan bahwa masa jabatannya sudah berakhir, dikarenakan masih menunggu penggantinya beliau diminta sabar barang sejenak untuk menyusun penggantinya.

Gatot mengaku, sudah berbuat secara maksimal sesuai kemampuannya di perusahaan yang ia pimpin tersebut. Dan sejak awal tekadnya cuma satu yakni, ”Saya akan berikan dan tinggalkan yang terbaik di PT AP I. Hanya itu yang dapat saya lakukan,” tuturnya.

Selama menjabat sebagai direksi di PT AP I, lanjutnya, pihaknya merasa cukup enjoy karena bisa melaksanakan tugas dengan baik. Dari sisi pelayanan misalnya, lima bandara yang dikelola PT AP I mendapat penghargaan pelayanan prima dari Menteri Perhubungan karena mampu memberikan pelayanan terbaik kepada penumpang. Kelima bandara yang mendapat penghargaan pelayanan prima masing-masing Bandara Ngurah Rai, Bandara Sepinggan, Bandara Selaparang, Bandara Juanda, Bandara Hasanuddin.

Dari sisi kinerja keuangan, prestasi yang diraih AP I juga lumayan. Meski perolehan laba berfluktuasi akibat berbagai peristiwa yang dihadapi bangsa ini, tetapi dia merasa bersyukur karena perusahaan yang dipimpinnya masih tetap mampu memberikan kontribusi kepada pemerintah.

Ketika awal krisis tahun 1998 AP I meraih laba bersih Rp 592 miliar. Tahun 1999 laba bersih yang diraih turun menjadi Rp 171,3 miliar. Memasuki tahun 2000 laba bersih naik lagi menjadi Rp 323,6 miliar. Perolehan laba itu terus meningkat dan 2001 diperoleh Rp 418,1 miliar. Tahun 2002 akibat tragedi bom Bali, laba perusahaan kembali turun menjadi hanya Rp 197,1 miliar.

Namun dia menambahkan, apa yang diraih tersebut bukan semata karena kehebatan dirinya, melainkan berkat kerja keras direksi dan seluruh karyawan di AP I. ”Saya kebetulan dibantu oleh direksi yang bagus dan profesional. Tanpa mereka mungkin saya tidak dapat berbuat banyak,” tuturnya.

Semasa krisis tahun 1998, katanya, AP I sangat tertolong dengan penerbangan luar negeri. Ketika penerbangan domestik berkurang, maka penerbangan internasional justru memberikan kontribusi cukup besar, terutama karena naiknya kurs dolar terhadap rupiah. Sebab, untuk penerbangan internasional diterapkan sistem pembayaran dengan mata uang dolar AS. Dalam tarif, perbandingan antara penerbangan domestik dan internasional 1 berbanding 15. Artinya, 1 kali penerbangan internasional sama dengan 15 kali penerbangan domestik.

Dari sisi airport tax misalnya, penerbangan luar negeri dikenakan Rp 75.000 per penumpang dan domestik cuma Rp 20.000. Kemudian, over flying domestik ditarik Rp 350 per rute per unit dan untuk tarif internasional sebesar 0,55 sen dolar AS. ”Perbedaan tarif penerbangan domestik dan internasional ini memang sempat diprotes sejumlah airlines asing,” katanya.

Pada waktu itu, pendapatan AP I dari dolar AS sangat tinggi. Keuntungan yang diraih tahun 2000 hingga 2001 juga lumayan besar. Pendapatan AP I mulai menurun tajam ketika diguncang tragedi WTC, Bom Bali, dan SARS. Tapi sekarang, baik penerbangan domestik maupun internasional sudah mulai mengalami banyak kemajuan.

Dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir, AP I mengalami berbagai gelombang peristiwa yang sangat mempengaruhi kinerja perusahaan. Tapi untungnya, kata Gatot, dampaknya tidak terlalu lama, sehingga perusahaan yang dipimpinnya masih bisa memperoleh laba. Dari semua peristiwa tersebut, hanya tragedi Bali yang paling parah dampaknya. Sebab, ketika itu hampir semua penerbangan luar negeri menghentikan penerbangannya ke Bali. Padahal, dapat dikatakan, Bandara Ngurah Rai, bahkan PT AP I hidup dari penerbangan luar negeri.

Dari 13 bandara yang dikelola PT AP I, lanjutnya, hingga saat ini cuma tiga bandara yang sudah meraih laba. Yaitu bandara Ngurah Rai, bandara Hasanuddin dan bandara Juanda. Selebihnya masih merugi dan harus disubsidi cukup besar. Bahkan bandara internasional Frans Kaisiepo di Biak, Papua yang pemanfaatannya kurang optimal karena minimnya pesawat yang datang, tetap harus dirawat agar tidak rusak.

Bisnis pengelolaan bandara, kata Gatot, sangat terkait dengan bisnis airlines (penerbangan). Tanpa airlines bandara tidak bisa hidup. Karena itu, persaingan pengelolaan bandara juga semakin ketat dengan memberikan pelayanan yang terbaik. Masing-masing pengelola berupaya menarik sebanyak mungkin airlines.

PT AP I akan berjuang keras untuk menjadikan bandara-bandara yang dikelolanya dapat diandalkan di Asia Pasifik. Pangsa pasar Asia Pasifik cukup potensial dan Indonesia berada di tengah-tengahnya.

Pangsa pasar Asia, khususnya Asia Tenggara yang kini dikuasai Singapura dilirik oleh sejumlah negara untuk dialihkan sebagian ke negaranya, termasuk oleh Indonesia. Indonesia memiliki sejumlah bandara internasional yang bisa diandalkan untuk bersaing. Salah satunya adalah bandara Ngurah Rai. Sebagai tujuan wisata dunia dan berlokasi antara dua benua, Ngurah Rai terus dikembangkan untuk memenuhi permintaan pengguna jasa. Banyak negara Asia misalnya sudah membuka penerbangan langsung ke Bali tanpa singgah ke negara lain.

Karena itu, bandara Ngurah Rai perlu dikembangkan. Kalau tidak dikembangkan, tidak akan mampu menampung tingginya frekuensi penerbangan ke Bali. Selain itu, jika fasilitas terbatas, maka airlines asing tidak akan datang. Padahal, bandara hidup dari lalu lintas penerbangan dan penumpangnya.

Menurut dia, ada beberapa upaya yang dilakukan oleh AP I dalam mengembangkan bandara agar didatangi airlines. Disebutkan, pengembangan bandara internasional Juanda, Surabaya melalui proyek tahap II. Kemudian, rencana pengembangan bandara Hasanuddin, Makassar yang akan dijadikan sebagai hub (basis) oleh sejumlah airlines nasional.

Salah satu upaya pengembangan bandara adalah dengan melakukan privatisasi. AP I merencanakan bandara pertama yang diprivatisasi adalah Ngurah Rai yang kini tinggal menunggu keputusan pemerintah. Namun AP I sudah membuat satu persyaratan dalam privatisasi tersebut di mana investor yang masuk harus mengembangkan bandara Selaparang, Lombok. Sebelumnya, dimasukkan juga bandara El Tari sebagai suatu persyaratan. Namun, belakangan dinilai kurang menarik bagi investor. Jadi, waktu itu ditawarkan sistem cluster yakni privatisasi bandara Ngurah Rai dikaitkan dengan pengembangan bandara Selaparang dan El Tari, Kupang.
.
Bandara Ngurah Rai, lanjutnya, pada tahun 2020 diprediksi tidak mampu menampung pertumbuhan pergerakan pesawat. Oleh karena itu, harus ada bandara berskala internasional sebagai alternatifnya. Karena itu, dipersiapkan bandara di Lombok.

Secara perlahan, krisis ekonomi di Indonesia dan global mulai dapat diatasi. Jika kondisi ekonomi telah kembali normal, maka arus wisatawan pun akan ramai. Menghadapi kondisi demikian, Indonesia perlu mempersiapkan diri dengan baik. Salah satunya adalah penyediaan bandara berkelas internasional yang siap melayani penerbangan berskala internasional.

Masalahnya adalah saat ini terjadi penurunan kinerja bandara yang cukup signifikan di Indonesia sebagaimana yang dirasakan PT (Persero) Angkasa Pura I (AP I). Selain terpaan krisis ekonomi yang membuat turunnya arus wisatawan lokal dan mancanegara, peristiwa teror, terutama teror bom Bali membuat pengaruh yang cukup signifikan. Apalagi teror itu mengenai sasaran utama yang menjadi tulang punggung PT AP I, yakni bandara Ngurah Rai, Denpasar, Bali. Bandara ini merupakan penyumbang laba terbesar PT AP I yakni hingga mencapai 50 persen. Kontribusi kedua terbesar disumbang oleh bandara Juanda, Surabaya sebesar 10 persen, ketiga bandara Hasanuddin, Makasar sebesar 16 persen dan sisanya 24 persen disumbang oleh 10 bandara lainnya.

Padahal, tanpa pengeboman saja, Bali sudah terganggu dengan tragedi WTC, Amerika Serikat, 11 September 2001. Sebelumnya, juga merasakan dampak krisis ekonomi yang melanda beberapa negara Asia. Setelah itu, terjadilah tragedi WTC, dan diikuti dengan tragedi Bom Bali dan peristiwa lainnya.

Pada seputar setiap peristiwa tersebut, aktivitas penerbangan ke Bali langsung ikut berkurang. Sebab, banyak warga dunia yang membatalkan penerbangannya, termasuk ke Bali. Bahkan orang yang tadinya sudah mempersiapkan jauh-jauh hari untuk bepergian terpaksa membatalkannya akibat aksi teroris tersebut. ”Dengan adanya tragedi-tragedi tersebut, maka pendapatan PT AP I juga mengalami penurunan,” kata mantan Direktur Utama PT AP I, Gatot Pudjo Martono.

2 komentar:

  1. saya sangat salut dengan kepemimpinan Bapak Gatot Pudjo Martono yang selalu mengedepankan kepentingan rakyat dibandingkan kepentingan pribadi atau golongan, salam hormat

    BalasHapus
  2. pensiunan angkasa pura I4 Maret 2010 pukul 20.00

    Salam hormat Bapak Gatot Pudjo yang selalu dihati

    BalasHapus