Selasa, 21 Desember 2010

ISLAM RAHMATAN LIL ALAMIN

beramai ramai masuk islam di stuttgart jerman



Europe to Islam (Part 1 / 6) Text Indonesia



Europe to Islam (Part 2 / 6) Text Indonesia



Europe to Islam (Part 3 / 6) Text Indonesia



Europe to Islam (Part 4 / 6) Text Indonesia



Europe to Islam (Part 5 / 6) Text Indonesia



Europe to Islam (Part 6 / 6) Text Indonesia




Masuk Islam secara massal di Amerika 1/3 



Masuk Islam secara massal di Amerika 2/3



Masuk Islam secara massal di Amerika 3/3



CNN American News: Amerika akan menjadi negara islam??



sekitar 20,000 setiap tahun nya warga amerika masuk islam



Republika OnLine » Dunia Islam » Mualaf
Tina Styliandou: Dulu Aku Diajari untuk Membenci Islam
Rabu, 22 Desember 2010, 05:03 WIB
Smaller


REPUBLIKA.CO.ID, Saya lahir di Athena, Yunani, dari orang tua penganut Kristen Ortodok Yunani. Keluarga ayah saya tinggal di Istanbul, Turki, hampir di seluruh hidup mereka. Ayah pun lahir dan besar di sana. Mereka keluarga sejahtera, berpendidikan baik dan seperti sebagian besar Kristen Ortodok yang tinggal di negara Islam, mereka sangat berpegang teguh dengan ajaran agama.

Tiba masa ketika pemerintah Turki memutuskan menendang mayoritas keturunan Yunani keluar dari negara itu dan menyita kekayaan, rumah serta bisnis mereka. Kondisi itu memaksa keluarga ayah saya kembali ke Yunani dengan tangan kosong. Ini yang dilakukan Muslim Turki dan itu yang mengesahkan, menurut mereka, untuk membenci Islam.

Keluarga Ibu saya tinggal di sebuah pulau Yunani di perbatasan antara Yunani dan Turki. Selama serangan Turki berlangsung, Turki menguasai pulau tersebut, membakar rumah-rumah. Demi keselamatan, penduduk pulau pun melarikan diri di daratan utama Yunani. Lebih banyak alasan lagi untuk membenci Muslim Turki.

Yunani, lebih dari 400 tahun dikuasai Turki. Akhirnya kami, kaum muda Yunani diajarkan untuk meyakini bahwa setiap kejahatan yang dilakukan terhadap Yunani, adalah tanggung jawab Islam. Jadi, selama beratus tahun kami diajari, dalam buku-buku sejarah dan agama, untuk membenci dan mengolok-olok agama Islam.

Dalam buku kami, Islam bukanlah sebuah agama dan Rasul Muhammad saw. bukanlah nabi. Ia hanyalah seorang pemimpin dan politisi sangat cerdas yang mengumpulkan aturan dan hukum dari kitab Yahudi dan Kristen. Lalu ia menambahi dengan ide-idenya sendiri dan menguasai dunia.

Di sekolah, kami bahkan diajari untuk mengolok-olok dia, istrinya serta sahabat-sahabatny. Semua 'karikatur' dan lelucon kasar terhadapnya--yang dipublikasikan di banyak media saat ini--adalah bagian dari pelajaran kelas dan ujian kami!.

Alhamdulillah, Allah melindungi hati saya dan kebencian terhadap Islam tak pernah memasuki kalbu. Bantuan terbesar bagi saya mungkin dari dua orang tua yang bukanlah sosok relegius. Mereka jarang mempraktekkan ritual keagamaan dan hanya datang ke gereja saat ada pernikahan dan pemakaman.

Alasan yang membuat ayah saya menarik diri dari agamanya ialah korupsi yang ia saksikan dilakukan para pendeta setiap hari. Bagaimana mungkin orang-orang ini berkotbah tentang Tuhan dan kebaikan tapi pada saat bersamaan mencuri dari dana gereja, membeli vila dan memiliki mobil Mercedes serta menyebarkan gagasan homoseksual di kalangan mereka sendiri?


Apakah ini perwakilan yang benar dari agama yang akan memandu kami, mengoreksi kami dan mendekatkan kami kepada Tuhan. Ayah saya muak dengan mereka dan itulah yang membuat ia menjadi atheis. Gereja-gereja pun mulai kehilangan jemaat, paling tidak di negara saya, karena aksi para pendeta.

Tak Puas dengan Keyakinan Awal

Sebagai remaja, saya mencintai buku dan membaca banyak. Saya sendiri tidak pernah benar-benar puas dengan Kristen yang saya peluk. Saya mempercayai Tuhan, rasa takut dan cinta kepadanya, namun yang lain sungguh membingungkan saya.

Saya mulau mencari namun saya tak pernah mencari dan memelajari Islam. Mungkin karena latar belakang pendidikan saya bertentangan dengan ajaran ini.

Namun alhamdulillah, Ia mengasihi jiwa saya dan memandu saya kepada cahaya. Ia mengirimkan ke hidup saya seorang suami, lelaki Muslim yang menumbuhkan cinta ke dalam hati saya. Kami saat itu menikah tanpa memedulikan perbedaan agama.

Suami saya selalu bersedia menjawab pertanyaan apa pun yang terkait agamanya, tanpa merendahkan keyakinan saya--bagaimanapun salahnya mereka. Ia tak pernah menekan atau bahkan meminta saya untuk berpindah agama.

Setelah tiga tahun menikah, memiliki kesempatan mengenal Islam lebih jauh dan membaca Al Qur'an langsung, dan juga buku-buku agama lain, saya pun meyakini tak ada sesuatu yang bersifat trinitas. Muslim meyakini hanya Satu Tuhan yang tak bisa disandingkan dengan apa pun. Tidak memiliki anak, pasangan dan tidak ada sesuatu di muka bumi yang berhak disembah selain Dia. Tidak ada satupun yang berbagi keesaannya dengan-Nya dan juga sifat-sifat-Nya.

Menjadi Muslim

Saya pun memeluk Islam. Namun saya menyembunyikan agama baru dari orang tua, teman-teman selama bertahun-tahun. Kami tinggal bersama di Yunani tanpa pernah meninggalkan ajaran Islam dan sungguh luar biasa sulit, hampir mustahil.

Di kampung halaman saya tidak ada masjid, tidak ada akses ke studi Islam, tidak ada orang berdoa atau berpuasa, atau seseorang mengenakan jilbab.

Ada beberapa imigran Muslim yang datang ke Yunani untuk masa depan keuangan lebih cerah. Mereka membiarkan kehidupan Barat menarik dan mengorupsi mereka. Hasilnya, mereka tak mengikuti ajaran agama dan mereka sepenuhnya tersesat.

Suami dan saya harus shalat dan berpuasa mengikut kalender. Tidak ada Adzhan dan tidak ada komunitas Islam untuk mendukung kami. Kami merasa setiah hari mengalami kemunduran. Keyakinan kami melemah dan gelombang menyeret kami.

Ketika putri kami lahir, kami memutuskan--demi menyelamatkan jiwa kami dan putri kami--bermigrasi ke negara Islam. Kami tidak ingin membesarkan dia dalam lingkungan Barat yang bebas di mana ia harus berjuang keras menjaga identitas dan mungkin berakhir tersesat.

Terimakasih Tuhan, ia telah memandu kami dan membawa kami kesempatan untuk bermigrasi ke negara Islam, di mana kami mendengar kalimat-kalimat merdu Adhzan. Kami pun dapat meningkatkan pengetahuan dan cinta kami pada-Nya serta pada Rasul Muhammad. saw.


Red: Ajeng Ritzki Pitakasari
Sumber: Reading Islam


Republika OnLine » Dunia Islam » Mualaf
Kisah Lima Mualaf Inggris Bersyiar Islam (2)
Ketika Sukina Douglas Pilih Tukar Rambut Gimbal dengan Jilbab

Kamis, 16 Desember 2010, 07:00 WIB


REPUBLIKA.CO.ID, LONDON--"Islam merendahkan perempuan? Anda baca lagi literaturnya dengan benar," ujar Sukina Douglas. Mendengar penyair muda Inggris ini bertutur tentang Islam, orang tak akan menyangka dia belum lima tahun menjadi Muslim.

Sebelumnya, ia selalu menggeleng ditanya agama. "Sebelum saya menemukan Islam, pandangan saya tegas tetap pada Afrika. Agama saya Afrika. Saya dibesarkan sebagai seorang Rastafarian dan memiliki rambut gimbal panjang: satu setengah pirang dan setengah lainnya hitam," ujarnya.

Kemudian, pada tahun 2005, mantan pacarnya kembali dari perjalanan ke Afrika dan mengumumkan bahwa ia akan masuk Islam. Saat itu dia sangat marah dan mengatakan bahwa dia telah 'kehilangan akar Afrika'-nya. "Mengapa ia mencoba untuk menjadi orang Arab? Setiap kali saya melihat seorang wanita Muslim di jalan saya berpikir, mengapa mereka harus ditutp-tutup seperti itu? Bukankah mereka panas?" ujarnya mengisahkan.

Namun diam-diam, ia melahap buku-buku keislaman. "Ketika saya mulai membaca otobiografi Malcolm X di universitas, sesuatu terbuka dalam diri saya. Suatu hari saya berkata kepada seorang sahabat, Muneera, 'Aku jatuh cinta dengan Islam. "Dia tertawa dan berkata," Jadilah tenang, tak usah terburu-buru!"

Selain kisah Malcolm X, ada satu yang menarik perhatiannya. "Saya selalu bersemangat tentang hak-hak perempuan; tidak ada cerita saya memasuki agama yang berusaha untuk merendahkan perempuan. Jadi, ketika saya membaca sebuah bukuyang ditulis seorang feminis Maroko, terurailah semua pendapat negatif saya tentang Islam, bahwa agama ini tidak menindas perempuan."

Ia belum memutuskan untuk menjadi Muslim, ketika ia coba-coba berpenampilan seperti Muslimah. Ia mencoba mengenakan rok model Gypsy, dan bertudung kepala juga ala Gypsy. "Tapi aku tidak merasa lusuh, aku merasa cantik. Aku sadar, aku bukan komoditas seksual bagi pria untuk nafsu birahi mereka, tiba-tiba saya betul-betul jatuh hati pada agama ini."

Ia pun bersyahadat. Tak mudah bagi Sukina setelah itu, karena tiga minggu setelah menjadi Muslim, bom meledak di London. "Saya tidak pernah mengalami rasisme di London sebelumnya, tetapi dalam minggu-minggu setelah bom, orang-orang akan melemparkan telur pada saya dan berkata, 'Kembalilah kepada negara Anda sendiri'. Mana negara saya? Negara saya ya Inggris," ujarnya.

Setelah menjadi Muslim, ia menemukan "masa depan"-nya. Saat sang pacar memutuskan menjadi Muslim, mereka berpisah. Ketika ia menjadi Muslim, Sukina mencoba membuka hati lagi bagi sang mantan. "Kini dia menjadi suami saya," ujarnya tersenyum.

"Sebelum saya menemukan Islam, saya adalah seorang pemberontak tanpa alasan, tapi sekarang saya punya tujuan hidup: saya bisa mengidentifikasi kekurangan saya dan bekerja untuk menjadi orang yang lebih baik. Bagi saya, menjadi seorang Muslim berarti memberikan kontribusi pada masyarakat, tidak peduli di mana Anda berada dan dari mana Anda berasal."
Red: Siwi Tri Puji B

Republika OnLine » Dunia Islam » Islam Mancanegara
Asa yang Terpendam Seorang Muslimat Inggris
Sabtu, 04 Desember 2010, 05:42 WIB



REPUBLIKA.CO.ID, LONDON--Shelina Zahra Janmoha med, seorang Muslimah Inggris, memendam harapan. Kelak, Muslimah di Inggris khususnya tak lagi dipandang karena keyakinan atau jilbab yang mereka kenakan, tetapi masyarakat mengapresiasi prestasi yang mereka ukir. Shelina berharap stereotipe dan citra miring terhadap Muslimah pudar.

Ia menganggap, sangat bagus memandang Muslimah sebagai bagian tak terpisahkan dari masyarakat dan negaranya. Bukan karena label Muslimahnya, melainkan lebih dari itu karena bakat dan kontribusi yang mampu diberikan.
Seperti perempuan lainnya, Muslimah juga dekat dengan isu-isu keseharian, seperti pendidikan, pekerjaan, kesehatan, dan keluarga.

Ia mengajukan contoh, Barones Sayeeda Warsi, Muslimah yang menjadi salah satu ketua Partai Konservatif dan kini menjabat sebagai menteri di kabinet Perdana Menteri David Cameron.
Bulan lalu, ia tampil di hadapan media bersama dua anggota parlemen perempuan untuk beradu argumentasi dengan kalangan oposisi. Ia disegani.

Namun, kenyataannya, Muslimah pada umumnya harus menghadapi rintangan tambahan dibandingkan perempuan lainnya. Simak saja, ujar Shelina, apa yang terjadi di bursa kerja. Berdasarkan laporan UK Equalities and Human Rights Comission 2010, hanya 24 persen Muslimah di Inggris yang bekerja.

Fakta ini kemudian menggelitik orang-orang yang tak tahu benar tentang Islam dan Muslim untuk segera melontarkan komentar. Mereka berujar, tak banyaknya Muslimah yang mendapatkan pekerjaan terkait dengan tekanan yang dihadapi mereka oleh keluarganya. Salah satunya, mereka diharuskan berjilbab atau tinggal di rumah saja.

Pandangan itu terbantahkan oleh sebuah laporan yang dirilis The Young Foundation pada 2008. Lembaga ini menyimpulkan, jika merunut pada generasi kedua Muslimah di Inggris, pandangan bahwa keluarga melarang Muslimah bekerja tak tepat. Sebagian besar mereka mendapatkan sokongan dari keluarganya untuk bekerja.

Menurut The Young Foundation, halangan yang menghadang para Muslimah sama dengan hambatan para perempuan pada umumnya, seperti diskriminasi gender. "Namun, Muslimah Inggris harus lolos dari hambatan lain, yaitu diskriminasi karena keyakinan dan pakaiannya," kata Shelina seperti dikutip Middle East Online, belum lama ini.

Padahal, komunitas Muslim memiliki generasi perempuan sebagai politikus, pemimpin komunitas, pengusaha, dan penulis. Dengan kenyataan ini pula, Muslimah kini harus terus berjuang untuk menebas semua rintangan, lalu melahirkan citra, kisah, dan budaya baru. Paling tidak, Shelina juga bisa menjadi salah satu contoh.

Ia membuat sebuah blog, Spirit 21, lima tahun lalu, untuk menyuarakan perihal Muslimah Inggris yang jarang didengar. Ternyata, blog ini menuai sukses. BBC bahkan menyatakan blog milik She lina menjadi salah satu blog Muslim yang paling berpengaruh. Media nasional dan internasional memburunya untuk mendapatkan wawancara.

Seakan-akan Shelina menjadi juru bicara kaumnya. Penghargaan pun disematkan kepadanya karena dinobatkan sebagai salah satu dari 100 Muslimah Inggris yang paling berpengaruh. Bukunya, Love in a Headscarf, yang menceritakan Muslimah berjilbab mencari calon suami diterjemahkan ke dalam sejumlah bahasa.

Sosok lain yang juga sarat prestasi adalah Jobeda Ali. Ia mengorganisasi Cineforum yang menampung film di seluruh dunia yang menggambarkan Muslimah. Ada juga Shaista Gohir yang mempunyai laman Big Sister. Laman ini menyajikan Muslimah sukses yang bisa dijadikan model bagi Muslimah lainnya.

Sarah Joseph, seorang mualaf, membuat majalah gaya hidup Muslim pertama yang begitu terlihat mewah. Dan, Roohi Hasan, seorang editor berita televisi serta anggota tim yang merancang berita Channel 5, salah satu program berita paling populer di Inggris.

Sementara itu, Maleiha Malik adalah profesor hukum di Kings College London yang prestisius. Ia fokus pada diskriminasi hukum, perlindungan pada kaum minoritas, dan juga seorang feminis. "Dengan semua ini, kelak stereotipe terhadap Muslimah sirna dan kekayaan bakat yang dimiliki Muslimah akan diakui," kata Shelina.
Red: irf
Rep: ferry kisihandi

Republika OnLine » Dunia Islam » Mualaf
Tulisan Lindsey Faraj, Mahasiswa UNC Charlotte
Sebagai Warga AS Kulit Putih, Izinkan Saya Berbicara Tentang Islam
Senin, 22 November 2010, 15:42 WIB


REPUBLIKA.CO.ID, Saban hari kita dibombardir dengan kabar terbaru seputar olahraga, politik dan berita dunia, dan kita kerap berinisiatif menggali lebih jauh atas cerita dan topik yang menarik minat. Lalu, mengapa ini menjadi salah satu topik paling signifikan dalam dekade lalu dan terus menjadi salah satu yang paling disalahpahami?

Islam, sejauh ini, adalah salah satu bahasan paling kontroversial. Namun, sejak serangan pada 11 September, hanya ada peningkatan sekitar 6 persen pada jumlah orang-orang yang tahu sebagian atau banyak tentang Islam, setidaknya menurut Riset Pew.

Miskin komunikasi dan interaksi antara Muslim dan non-Muslim adalah sebagian faktor yang patut disalahkan atas ketiadaan hubungan yang kian memburuk. Beberapa Muslim, sangat dipahami, bila menarik diri dari masyarakat karena didorong ketakutan atas penolakan dan diskriminasi. Terutama di tengah situasi nasional yang benci dengan tindak kejahatan.

Pada saat bersamaan, banyak warga non-Muslim mungkin merasa tidak nyaman berinteraksi dengan seseorang yang memiliki agama berbeda secara nyata dari agama mereka. Ironisnya itu adalah pandangan yang diyakini oleh 65 persen non-Muslim dalam sebuah survei terpisah, yang juga dilakukan oleh Pew Riset.

Sebagai warga Amerika kulit putih keturunan Eropa, saya secara pribadi selalu melihat dunia dari dua prespektif. Hanya, setelah mengenal dan akrab dengan teman-teman satu kelas berdarah Arab-Amerika di kampus, baru saya tertarik memelajari budaya mereka yang memesona, termasuk agama mereka, Islam. Setelah bertahun-tahun memelajari Islam secara non-formal, saya menjadi salah satu dari beberapa ribu warga Amerika--sebagian besar adalah wanita--yang beralih memeluk Islam.

Pengamatan saya tentang berbagai praktik Islam telah memberi dampak pada kehidupan pribadi, termasuk shalat lima kali sehari dan berpuasa selama Ramadhan, namun tidak ada yang lebih berdampak langsung dari keputusan saya untuk mengenakan penutup kepala. Saat pertama kali menggunakan kerudung, saya mendapat banyak tentangan, keberatan dan bahkan pandangan dan sikap diskriminasi.

Tak hanya itu, beberapa kali saya malah diminta "kembali pulang ke negara saya". Tampaknya kulit putih yang terang dan mata biru saya tidak berarti apa-apa. Kerudung yang saya kenakanlah yang kini mengatakan semuanya. Saya kini memahami bahwa sikap alami manusia untuk tidak menyukai apa yang mereka tidak tahu dan tidak pedulikan. Satu-satunya cara untuk hadir berdampingan antara satu dengan yang lain adalah mendidik diri sendiri untuk hidup dalam kemajemukan masif berisi orang-orang yang juga memanggil Amerika rumah mereka.

Jika salah satu dari mereka memilih untuk mengenal hanya sedikit juta Muslim Amerika, maka mereka pun akan menemukan bahwa banyak dari Muslim yang tidak jauh beda dengan warga lain. Malah, fakta di lapangan mengatakan satu seperempat populasi Muslim di Amerika adalah warga kulit putih yang beralih dan juga keturunan Afrika-Amerika, sebagian besar memiliki latar belakang Kristen, demikian menurut survei Pew Forum pada 2007.

Mungkin yang lebih mengejutkan adalah ajaran Islam sesungguhnya sangat kontras dari selip pemahaman umum yang banyak beredar. Kemiripan Islam dengan keyakinan Ibrahim lain, mungkin dapat menjadi titik tolak menakjubkan bagi dialog antarkeyakinan yang sangat dibutuhkan.

Dari keyakinan satu Tuhan yang sesungguhnya, dipanggail sebagai Allah; keyakinan yang dianut banyak nabi di agama Ibrahim lain, juga keyakinan Yesus dan Maria Perawan; seseorang dipastikan akan menemukan bahwa tiga pohon keyakinan itu berakar dari fondasi yang sama, namun bercabang ke berbagai arah seiring dengan waktu.

Red: Ajeng Ritzki Pitakasari
Sumber: Charlotte Observer

Republika OnLine » Dunia Islam » Islam Mancanegara
Suami Jadi Mualaf, Istri Minta Fatwa Al Azhar Soal Agama Anaknya
Rabu, 29 September 2010, 16:01 WIB


REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO: Kamelia Lotfy Gaballah, ibu dari dua anak kembar 16 tahun - Andrew dan Mario - yang ayahnya masuk Islam, meminta Grand Syekh Al Azhar mengeluarkan fatwa yang memungkinkan mencegah anak-anaknya dari paksaan masuk Islam. Selama ini, dalam kartu identitas kedua anaknya, terulis agama mereka adalah Kristen.

Dalam surat permohonannya, Gaballah meminta Grand Syekh Al Azhar, Dr Ahmed Al-Tayyeb, menunjukkan bahwa syariah memberikan hak untuk anak-anak yang telah mencapai usia 15 memilih agama mereka percaya dan ikuti. Sebelumnya, ia sudah memintakan fatwa Dewan Fikih Mesir di mana dia memenangkan hak asuh anak-anaknya pada bulan April 2009 setelah suaminya yang menjadi mualaf mengklaim hak asuh mereka.

Gaballah mengatakan kepada Daily News bahwa ia seharusnya bertemu dengan Grand Syekh Al Azhar segera, sesuai dengan janji-janji yang diberikan oleh pejabat Al Azhar. Gaballah juga menegaskan bahwa dia bertemu dengan banyak anggota Komite Yurisprudensi Al Azhar yang telah menunjukkan pemahaman yang dalam atas kasusnya. "Pertemuan itu positif," kata Gaballah. "Saya yakin bahwa Syariah jelas tentang ini, bahwa pada usia 15 tahun anak bebas memilih agama mereka sendiri terlepas dari orientasi kepercayaan orang tuanya."

Kasus Andrew dan Mario mengangkat kontroversi di antara para aktivis hak asasi manusia dan ulama selama lima tahun ini. Andrew dan Mario, misalnya, dilarang mengikuti kelas agama Kristen dan harus masuk kelas agama Islam. Selain itu, kebanyakan dari dokumen mereka mengidentifikasi si kembar sebagai Muslim.

Gaballah mengatakan bahwa anak-anaknya tak tahu apa-apa tentang Islam, karena mereka lahir dan dibesarkan sebagai orang Kristen. Ia sebelumnya mengajukan gugatan Pengadilan Tata Usaha untuk mengubah agama anak kembarnya sesuai akte kelahiran mereka, tetapi pengadilan menolak untuk melanjutkan dengan gugatan Maret lalu. Kemudian Gaballah mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Administrasi, tetapi tanggal sidang belum dijadwalkan.
Red: Siwi Tri Puji B
Sumber: Daily News

Republika OnLine » Alif TV
Kristiane Backer, Menemukan Islam dan Quran yang Rasional
Rabu, 07 Juli 2010, 14:02 WIB



REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Berawal dari ketertarikan mengkaji Islam melalui diskusi bersama sang suami, mantan presenter MTV, Kristiane Backer, menemukan Islam sebagai agama yang logis dan rasional. Menurut dia, Islam berpihak kepada perempuan dan laki-laki.

Dia menambahkan, dalam Islam, perempuan telah memiliki hak untuk memilih pada tahun 600 Masehi. Perempuan dan laki-laki di dalam Islam pun berpakaian dengan cara yang sopan.

Kristiane Backer lahir dan tumbuh dewasa di tengah keluarga Protestan di Hamburg, Jerman. Kariernya sebagai presenter dimulai pada usia 21 tahun. Kala itu ia bergabung dengan radio Hamburg sebagai wartawati. Dua tahun kemudian, ia terpilih sebagai presenter MTV Eropa di antara ribuan pelamar. Dunia yang dipilihnya itu, mengantarkan Kristiane bertemu dengan banyak pesohor dari berbagai negara. Ia pun merasakan sebuah kehidupan yang glamor. Di tengah kehidupan glamornya, ia mengalami keguncangan spiritual.

Kemudian di tahun 1992, Kristiane bertemu dengan Imran Khan, yang akhirnya menjadi suaminya. Imran Khan adalah anggota tim kriket Pakistan. Pertemuan itu adalah yang pertama kali antara Kristiane dengan seorang bintang yang beragama Islam. Kristiane dan Khan senantiasa berdiskusi tentang Islam.

Saat mengkaji agama samawi itu bersama suami, Kristiane menemukan Islam dan Quran yang begitu rasional. Ia mengaku apa yang dikatakan lingkungan dan orang-orang terdekatnya cenderung salah tentang Islam. Ia menilai Islam begitu menjunjung tinggi hak-hak wanita, yang sekarang tengah diperjuangkan di seluruh dunia. Jauh sebelumnya, Islam telah menjunjung tinggi hak-hak wanita sejak ratusan tahun yang lalu.

Semenjak itu, Kristine secara perlahan mulai menyesuaikan kehidupannya dengan nilai-nilai Islam. Akhirnya, ia menerima Islam setelah mengucap syahadat. Ia pun mempelajari shalat lima waktu dan berpuasa Ramadhan, sebagaimana kewajiban Muslim pada umumnya.

Meski begitu, keputusannya masuk Islam menuai berbagai macam cobaan. Saat itu, Kristiane tidak lagi dipercaya menjadi presenter. Tak hanya itu, kawan-kawan dan kerabatnya pun mengucilkannya. Beruntung, kedua orang tua Backer tak mempermasalahkan jalan hidup yang dipilih anaknya itu. Bahkan, suasana keluarganya kian hangat oleh diskusi-diskusi seputar keislaman.
Red: Mohamad Afif
Rep: Agung Sasongko

Republika OnLine » Dunia Islam » Islam Mancanegara
Laura Rodriguez, Memilih Islam karena Memuliakan Perempuan
Rabu, 05 Mei 2010, 18:44 WIB



"Islam memberikan hak, di mana dalam iman saya sebelumnya hal itu ditolak. Seperti kebebasan pribadi, hak-hak ekonomi, hak untuk mewakili kepentingan diri mereka sendiri di pengadilan, hak untuk pendidikan, untuk pekerjaan, dan bahkan hubungan suami istri." (Laura Rodriguez, Mualaf Spanyol)


MADRID--Laura Rodriguez, Presiden Uni Perempuan Muslim, sebuah organisasi Muslimah di Spanyol, menyayangkan informasi sepotong-sepotong yang diterima Barat tentang bagaimana perlakuan Islam terhadap perempuan. Menurutnya, perempuan memiliki hak lebih dalam Islam daripada di Katolik.

Laura tidak asal bicara. Lahir sebagai seorang Katolik dan dididik di sekolah Katolik, Laura Rodriguez paham betul seluk beluk agama itu. Ia menekuni agama lamanya, sampai kemudian suatu hari ia menemukan pencerahan tentang Islam.

"Islam memberiku hak yang tidak diberikan oleh Katolik, seperti kebebasan individu, hak-hak hukum, hak atas pendidikan, hak atas pekerjaan, dan hak seksualitas," kata Rodriguez.

"Perempuan tidak bisa berkomunikasi langsung dengan Tuhan dalam agama Katolik. Mereka tidak memiliki hak untuk seksualitas. Misi mereka adalah melahirkan anak-anak," tambahnya. Satu lagi, perempuan tidak punya hak untuk bercerai dalam agama lamanya.

Bahkan, "penindasan" terhadap kaum perempuan masih berlaku hingga saat ini di negaranya yang mayoritas warganya adalah Katolik. "Perempuan Spanyol membutuhkan persetujuan resmi suami mereka untuk membuka rekening bank," ujarnya.

Ketika ditanya mengapa wanita lebih berpendidikan, lebih berdaya, dan lebih hadir di depan publik di negara-negara Kristen dibandingkan negara Muslim, Rodriguez mengatakan bukan faktor agamanya yang mempengaruhinya. "Anda tahu, gereja telah kehilangan kekuasaannya untuk mempengaruhi masyarakat."

Ia menambahkan bahwa perempuan memperoleh hak mereka setelah negara-negara Eropa Kristen menjadi sekuler setelah Revolusi Perancis. "Adapun Islam, sebagian besar negara-negara Islam justru tidak mencerminkan Islam yang sesungguhnya," katanya.

Rodriguez menyatakan, kini dirinya nyaman dengan Islam. Ia mengatakan masih ada pekerjaan yang harus dilakukan untuk memperbaiki kondisi perempuan Muslim, khususnya pendatang, di Spanyol. Dia telah bekerja pada isu migrasi selama 17 tahun terakhir dan mengatakan migran perempuan menghadapi kesulitan yang lebih dibandingkan dengan rekan-rekan pria mereka.

Ia menghargai pendekatan pemerintah saat ini Spanyol, dipimpin oleh Jose Luiz Zapatero dari Partai Buruh Sosialis, menyangkut kebijakannya terhadap Muslim. "Zapatero adalah perdana menteri pertama yang secara resmi menerima perwakilan dari komunitas Muslim," katanya. "Dia juga yang pertama untuk memberikan dukungan keuangan untuk umat Islam."
Red: Siwi Tri Puji.B
Sumber: Orange.co.uk

Republika OnLine » Dunia Islam » Islam Mancanegara
Wali Kota Muslim, Pimpin Wilayah Yahudi di Amerika
Ahad, 04 Juli 2010, 01:16 WIB



REPUBLIKA.CO.ID, TEANECK--Kekuasaan Allah SWT terlihat begitu nyata di salah satu kota di Amerika Serikat (AS), Teaneck, yang masuk wilayah Bergen, New Jersey. Di kota yang berpenduduk mayoritas Yahudi ini baru saja terpilih seorang wali kota bernama Mohammed Hameeduddin. Dia adalah wali kota pertama yang beragama Islam di wilayah yang didominasi Yahudi tersebut.

Dua tahun lalu, dia terpilih menjadi anggota dewan kota setempat. Jumat (30/6) waktu setempat, Dewan Kota Teaneck menggelar pemilihan untuk menentukan seorang wali kota. Dari tujuh anggota dewan kota, Hameeduddin, berhasil meraih lima suara. Dalam pemilihan tersebut, dia bersaing dengan seorang kandidat bernama Lizette Parkaer. Sejak tahun 2006, perempuan yang satu ini telah menjabat sebagai wakil wali kota setempat. Selain menjadi wakil wali kota, dia juga menjadi anggota dewan kota.

Dalam pemilihan itu, Parker hanya mendapat dua suara, yakni satu suara dari dirinya, dan satu lagi dari seorang anggota dewan kota, Barbara Toffler. Jika terpilih, Parker akan menjadi perempuan pertama yang bisa menjadi wali kota di wilayah tersebut. Namun kenyataannya dia gagal. Para pendukung Parker kemudian menganggap kekahalan calonnya itu lebih karena faktor gender.

Sebagian warga Yahudi setempat pun melihat terpilihnya Hameeduddin dengan sikap skeptik. Mereka khawatir, wali kota terpilih akan memimpin wilayah tersebut dengan interes pribadi yang kuat. Kekhawatiran itu tidaklah dominan. Kini Teaneck memiliki 14 sinagog (tempat peribadatan Yahudi), dan banyak toko-toko alat perlengkapan masyarakat Yahudi
Red: irf
Sumber: NorthJersey.com

Republika OnLine » Dunia Islam » Islam Mancanegara
Surat Terbuka Lauren Booth: Mengapa Saya Memilih Islam (1)
Rabu, 03 November 2010, 15:59 WIB
Smaller



REPUBLIKA.CO.ID, LONDON--Belum sebulan menjadi mualaf, ipar mantan perdana menteri Inggris Tony Blair, Lauren Booth, kembali menjadi bahan berita. Kali ini ia disebut menganut Islam syiah garis keras. Tudingan itu, dilatari perjalanannya ke Iran yang mengantarkannya menjadi Muslim.

Publikasi lain menyebut, ia menjadi Muslim hanya demi mencari popularitas. "Ia ingin diperhatikan," demikian sebagian orang mengomentari.

Alih-alih menanggapi semua tudingan, ia malah membuat surat terbuka tentang rasa syukurnya menjadi seorang Muslim. Suratnya itu dimuat di harian Daily Mail edisi awal pekan ini. Berikut ini petikannya:


Ditanya mengenai penjelasan singkat tentang bagaimana saya -- seorang jurnalis, orang tua tunggal yang juga wanita karier, bekerja di media Barat -- memilih agama ini, saya selalu menjelaskan tentang pengalaman spiritual paling intens di sebuah masjid di Iran sebulan lalu.

Tetapi, hal ini membawa saya menengok ke belakang, pada Januari 2005, ketika saya datang seorang diri ke Tepi Barat untuk meliput pemilu di sana yang nantinya diterbitkan di The Mail edisi Minggu. Asal Anda tahu, sebelum pergi ke sana, saya belum pernah menghabiskan waktu dengan seseorang berdarah Arab, atau seseorang beragama Islam.

Seluruh pengalaman mungkin akan sangat mengejutkan, namun bukan untuk alasan yang mungkin saya harapkan. Sangat banyak informasi yang kita tahu tentang orang-orang yang mengikuti ajaran Nabi Muhammad, walau belakangan saya sadari banyak yang bias.

Intinya, saya tetap terbang ke Timur Tengah, dengan beragam pikiran berkecamuk di kepala saya: ekstremis radikal, kaum fanatik, kawin paksa, bom bunuh diri, dan jihad. Tak banyak brosur perjalanan yang saya bawa.

Pertama menginjakkan kaki, saya datang tanpa mantel, karena otoritas bandara Israel menahan kopor saya. Saat berjalan di Ramallah, saya menggigil, sebelum kemudian seorang wanita tua mencengkeram tangan saya.

Berbicara tak jelas dalam bahasa Arab yang cepat, ia membawa saya masuk ke dalam rumah di sisi jalan. Oh, apakah saya tengah diculik oleh seorang teroris? Saya masih bingung dan bertanya-tanya, ketika ia membuka lemari pakaian dan menarik sebuah mantel, topi, dan scarf.

Saya keluar dari rumah itu dengan mengenakan mantel, topi, dan scaft pemberiannya. Ciuman wanita tua itu mengantarkan kehangatan pada perjalanan saya. Kami tak saling bertukar kata.

Kejadian itu sangat sulit saya lupakan. Dalam wujud yang berbeda, kehangatan yang sama saya dapatkan ratusan kali. Hal yang sungguh tak saya dapatkan dalam apapun yang telah saya baca sebelumnya, atau terlihat di artikel manapun.

Sejak itu, saya setidaknya beberapa kali pergi ke sana selama tiga tahun. Pertama kali saya pergi untuk urusan kerjaan, maka kali lain saya pergi untuk alasan yang berbeda: bergabung dengan relawan pembawa bantuan dan grup pro-Palestina. Saya merasa tertantang oleh kesulitan yang dialami Palestina. Penting untuk diingat, ada umat Kristen di Tanah Suci ini yang telah tinggal selama 2.000 tahun dan bahwa mereka juga menderita di bawah pendudukan ilegal Israel.

Secara bertahap saya menemukan ekspresi seperti 'Masya Allah!' dan 'Alhamdullilah!' (mirip dengan 'Haleluya'), dan itu mulai masuk dalam percakapan sehari-hari saya. Ini adalah seruan gembira yang berasal dari 100 nama Tuhan (maksudnya mungkin 99, red), atau Allah.

Dari semula saya selalu gugup bila berada di dekat kelompok Muslim, kini saya malah mencoba untuk mendekati mereka. Sebuah tantangan bisa ada di dekat kaum terpelajar, yang lebih di atas semua itu, adalah sangat ramah dan murah hati.

Sejak itu, saya tak ragu lagi untuk memulai perubahan pemahaman politik, bahwa sesungguhnya warga Palestina adalah sebuah keluarga yang hangat ketimbang tersangka teror, dan kaum Muslim adalah sebuah komunitas ketimbang serangkaian "Collateral Damage".

(OK, saya hentikan di sini dulu, karena saya harus shalat selama 10 menit. Sekarang pukul 01.30 PM. Ada lima kali waktu berdoa dalam Islam tiap hari, sepanjang tahun sejak terbit matahari hingga malam hari). Bersambung
Red: Siwi Tri Puji B
Sumber: Disarikan dari Dailymail.co.uk

Republika OnLine » Dunia Islam » Islam Mancanegara
Surat Terbuka Lauren Booth: Mengapa Saya Memilih Islam (2)
Kamis, 04 November 2010, 17:46 WIB



REPUBLIKA.CO.ID, LONDON--Belum sebulan menjadi mualaf, ipar mantan perdana menteri Inggris Tony Blair, Lauren Booth, kembali menjadi bahan berita. Kali ini ia disebut menganut Islam syiah garis keras. Tudingan itu, dilatari perjalanannya ke Iran yang mengantarkannya menjadi Muslim.

Publikasi lain menyebut, ia menjadi Muslim hanya demi mencari popularitas. "Ia ingin diperhatikan," demikian sebagian orang mengomentari.

Alih-alih menanggapi semua tudingan, ia malah membuat surat terbuka tentang rasa syukurnya menjadi seorang Muslim. Suratnya itu dimuat di harian Daily Mail edisi awal pekan ini. Berikut ini bagian dua dari petikan suratnya yang sebelumnya dimuat di Republika Online edisi rabu (3/11):

Bagaimana tentang perjalanan spiritual? Itu tak pernah terjadi pada saya. Meskupun, saya suka berdoa dan sejak kecil sudah mendengar cerita tentang Yesus dan para nabi sebelumnya. Saya dibesarkan dalam keluarga yang sangat sekuler.

Mungkin apresiasi saya atas budaya Islam, terutama pada perempuan Muslim, yang menarik saya untuk mengapresiasi Islam. Perempuan Islam yang saya lihat di Inggris adalah yang menutup seluruh tubuhnya dari kepala hingga ujung kaki, kadang berjalan di belakang suami mereka, dengan anak-anak berbaju panjang di sekitar mereka.

Ini sungguh kontras dengan kondisi wanita profesional Eropa yang umumnya sangat memperhatikan penampilannya. Saya, misalnya, sangat bangga dengan rambut pirang saya, dan ya, belahan dada saya. Ini seolah menjadi "jualan" utama kami.

Saat bekerja di dunia broadcast televisi, betapa hal itu makin jelas terasa: presenter wanita menghabiskan waktu hingga satu jam untuk merias wajah dan penampilan mereka, hanya untuk membahas satu topik "serius" yang memakan waktu tak lebih dari 15 menit. Apakah ini sebagian bentuk liber-ation? Saya mulai bertanya-tanya seberapa banyak penghormatan bagi gadis-gadis dan perempuan dalam masyarakat "bebas" kita.

Pada tahun 2007 saya pergi ke Libanon. Saya menghabiskan waktu empat hari bersama para mahasiswi di sana, sebagian dari mereka mengenakan cadar. Mereka tetap tampak menawan, mandiri, dan bebas berpendapat. Mereka semua bukan gadis yang pemalu, atau mereka akan segera dipaksa untuk menikah, seperti yang sering kita dengar di Barat.

Suatu waktu mereka menemani saya mewawancarai seorang syekh yang disebut-sebut dekat dengan milisi Hizbullah. Saya sangat terkejut ketika melihat bagaimana syekh itu memperlakukan pada gadis yang menemani saya ini. Saat Syekh Nabil yang mengenakan surban dan jubah cokelat berbicara tentang topik yang "menantang" -- tentang pertukaran tawanan -- mereka tergelitik untuk angkat bicara. Mereka bebas bertanya dan menyatakan apapun, termasuk angkat tangan untuk menyela sang Syekh yang tengah berbicara.

Ada hal lain yang berubah kemudian dalam diri saya. Semakin banyak waktu saya habiskan di Timur Tengah, semakin sering saya minta diantar ke masjid. Hanya untuk kepentingan pesiar, begitu saya selalu meyakinkan pada diri saya. Walaupun faktanya, saya mendapatkan lebih dari sekadar "wisata" belaka.

Bebas dari aneka patung dan bangku, saya melihat mereka duduk begitu saja dengan anak-anak bermain di sekitarnya, beberapa memakan bekal mereka, dan wanita tua duduk di atas kursi roda mereka membaca Alquran. Mereka membawa "kehidupan" mereka ke masjid, dan membawa "masjid" ke dalam rumah-rumah mereka.

Dan tibalah suatu malam saat saya mengunjungi kota Qom, di bawah kubah emas yang disebut Fatimah Mesumah (Fatimah Sang Teladan), sama seperti perempuan lainnya di sana, tiba-tiba saya bergumam nama Allah beberapa kali, ketika memegang pagar makam Fatimah.

Ketika saya duduk, sebuah kenikmatan spiritual menyergap saya. Bukan kenikmatan yang seolah mengangkat kita dari tanah, tapi kenikmatan yang memberi kedamaian penuh. Saya duduk di sana untuk waktu yang lama. Seorang wanita muda di samping saya membisikkan, "Suatu keajaiban tengah terjadi pada Anda".

Ya, seketika saya tahu. Saya bukan lagi "turis dalam Islam", tapi telah menjadi umat, bagian dari komunitas Muslim, dan terkait dengan seluruh Muslimin.

Untuk pertama kalinya saya merasakan ingin lari dari situasi ini. Ada beberapa alasan; Apakan betul saya telah siap berpindah agama? Apa yang akan ada dalam pikiran teman-teman dan keluarga kalau saya menjadi Muslim? Apakah saya siap untuk mengubah banyak hal dalam perilaku keseharian saya?

Dan yang terjadi kemudian adalah hal yang benar-benar aneh. Saya tidak merasa khawatir tentang hal-hal itu, karena entah bagaimana menjadi seorang Muslim sangat mudah - meskipun masalah yang akan saya hadapi sangat berbeda, tentu saja.

Untuk memulai, Islam menuntut banyak belajar, namun saya ibu dua anak dan bekerja penuh waktu. Anda diharapkan untuk membaca Alquran dari awal hingga akhir, ditambah dengan bertemu imam dan segala macam aturan bagi orang yang sudah tercerahkan. Kebanyakan orang akan menghabiskan berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun sebelum menyatakan keislamannya. Saya bisa melewatinya.

Kini saya menjalin hubungan dengan beberapa masjid di North London, dan saya pergi ke sana setidaknya sekali seminggu. Saya tidak mengkotakkan diri saya apakah saya seorang Syiah atau Sunni. Bagi saya, hanya ada satu Islam dan satu Allah.

Mengadopsi pakaian, harus saya akui, lebih sulit dari yang Anda pikirkan. Menggunakan jilbab artinya saya berubah secara lebih cepat lagi. Dan, saya melakukannya beberapa pekan lalu. Untunglah, cuaca di luar dingin, jadi hanya sedikit orang yang memperhatikan.

Beberapa orang di tempat kerja saya bisa menerima, sebagian lain mencibir, bahkan menganggap palsu konversi keyakinan saya. Tapi sekarang, saya mulai bisa mengabaikan komentar-komentas negatif mereka. Beberapa orang mungkin tak bisa paham tentang perjalanan spiritual, dan berbincang tentang itu justru membuat mereka ketakutan.

Lepas dari semua itu, satu yang menjadi perhatian saya saat ini adalah: saya akan tetap profesional. Beberapa aktivias lama akan tetap saya lakukan. Saya akan tetap menjadi aktivis pro-Palestina, dan tak akan berhenti. Inggris adalah negara yang lebih toleran, setidaknya dibanding Prancis dan Jerman.

Saya beruntung bahwa saya mempunyai hubungan yang kuat dengan orang-orang di sekitar saya. Reaksi dari teman-teman saya yang non-Muslim lebih pada penasaran daripada bermusuhan. "Apakah itu akan mengubahmu?" Mereka bertanya. "Bisakah kita tetap berteman? Bisakah kita pergi minum?"

Jawaban atas dua pertanyaan pertama adalah: ya. Yang terakhir kemungkinan besar adalah, tidak.

Hubungan saya dengan ayah saya mungkin memang tidak bagus, dan susah memintanya memahami konversi keyakinan saya. Saya dan ibu saya memiliki hubungan yang buruk sejak saya menginjak dewasa, namun kami membangun sebuah "jembatan" hubungan dan dia selalu mendukung saya. Ketika saya bilang saya menjadi Muslim, dia menjawab, "Bukan menjadi itu (Muslim). Kudengar tadinya kau menjadi Budha." Namun kini dia memahami dan menerimanya.

Suatu saat jika harus menikah lagi, saya ingin suami saya seorang Muslim. Jika ditanya apakah anak-anak saya akan menjadi Muslim juga, saya tak bisa menjawabnya. Semua terserah mereka. Anda tak bisa mengubah hati seseorang bukan? (Selesai)



Catatan: Beberapa bagian suratnya kami penggal, tetapi tidak mengurangi arti secara keseluruhan.
Red: Siwi Tri Puji B

Tidak ada komentar:

Posting Komentar