Memang benar ada
pandangan yang mengatakan bahwa melakukan hubungan suami isteri di malam
ied atau di hari ied dilarang karena dianggap akan berakibat buruk.
Namun pandangan ini sama sekali tidak memiliki dalil yang kuat. Dalam
Islam, sesuatu dikatakan dilarang atau diperbolehkan harus menurut dalil
dan hujjah yang kuat; bukan berdasarkan katanya orang.
Jadi, melakukan
hubungan suami isteri pada malam ied atau siangnya adalah boleh. Sebab,
asal hukum jima atau hubungan suami isteri boleh setiap waktu kecuali
pada saat-saat yang dilarang. Kapan hubungan suami isteri dilarang?
1. Saat melakukan itikaf di masjid (QS al-Baqarah: 187)
2. Saat berihram (QS al-Baqarah: 197).
3. Saat berpuasa (QS al-Baqarah: 187)
4. Pada saat isteri sedang haid dan nifas
Namun di luar itu, boleh melakukan hubungan suami isteri.
Wallahu a'lam bish-shawab.
Berhubungan suami istri pada hukumnya wajib bagi pasangan yang telah diikat tali pernikahan dan kewajiban ini berlaku diantara kedua belah fihak baik itu suami maupun fihak istri, disampaikan bahwa sorang istri berkewajiban untuk melayani suaminya. Apapapun yang ingin dilakukan oleh seorang istri harus seijin suaminya, sekalipun itu untuk berpuasa atau sholat malam, padahal perbuatan tersebut merupakan perbuatan terpuji. Apalagi untuk urusan muamalah, seperti menerima tamu laki-laki ke rumahnya, atau ingin bepergian, semuanya harus seijin suami. Iapun tidak diperkenankan untuk melalaikan tugasnya atas suaminya bila dipanggilnya, Sabda Rasulullah Muhammad Saw “Bila seorang suami memanggil istrinya ke ranjang lalu tidak dituruti, hingga sang suami tidur dalam keadaan marah kepadanya niscaya para malaikat melaknati dirinya sampai Shubuh,” (Muttafaq ‘Alaih dari hadits abu Hurairah).
Sabda lainnya : “Demi Dzat yang jiwaku berada di tanganNya, tidak seorang suamipun yangmengajak istrinya ke ranjang lalu sang istri enggan memenuhi panggilannya melainkan yang di atas langit (Allah Ta’ala) marah kepadanya sampai suaminya ridha kepadanya,” (HR.Muslim).
Namun sebaliknya, bagaimana bila suaminya menolak panggilan istrinya? Maka sebagian ulama menyatakan wajib hukumnya suami memenuhi kebutuhan istrinya. Ibnu Qudamah: “Berhubungan intim wajib bagi suami jika tidak ada udzur”. Maksudnya tidak alasan bagi seuami untuk tidak memenuhi keinginan istrinya, karena menurut Ibnu Qudanah*1, istri amat tersiksa bila dilalaikan suaminya, karena sebenarnya keinginan istri amatlah besar dibandingkan laki-laki, hanya saja ia pandai menyembunyikannya seolah-olah tidak menjadi masalah. Dalam hal ini Imam Qurtubi, membuat bandingan bahwa syahwat perempuan/istri adalah sembilan banding satu.
Karena itulah bila tidak ditunaikan, maka dapat mendatangkan dosa bagi suami, karena termasuk dalam pelanggaran syariat Islam dalam hak dan memenuhi tuntutan istri, atau merupaka kewajiban suami atas istrinya. Dengan demikian dapat dikatakan dalam hal ini suami dibebankan kewajiban untuk melayani istrinya yang dimana bila ia tidak menggauli istrinya maka ia juga dikenai dosa atas kelalaian kewajibanya dan kedzolimanya. Dalam hal ini keduanya suami dan istri saling berkewajiban untuk saling melayani. Karena dalam masalah pernikahan keduanya memiliki satu hak antara satu dengan lainya dan satu kewajiban antara satu dengan lainya. Bahwasanya nikah adalah demi kemaslahatan suami istri dan menolak bencana dari mereka.Ia (suami) melakukan hubungan untuk menolak gejolak keinginan istri, sebagaimana juga untuk menolak gejolak keinginan suaminya.
Berhubungan suami istri pada hukumnya wajib bagi pasangan yang telah diikat tali pernikahan dan kewajiban ini berlaku diantara kedua belah fihak baik itu suami maupun fihak istri, disampaikan bahwa sorang istri berkewajiban untuk melayani suaminya. Apapapun yang ingin dilakukan oleh seorang istri harus seijin suaminya, sekalipun itu untuk berpuasa atau sholat malam, padahal perbuatan tersebut merupakan perbuatan terpuji. Apalagi untuk urusan muamalah, seperti menerima tamu laki-laki ke rumahnya, atau ingin bepergian, semuanya harus seijin suami. Iapun tidak diperkenankan untuk melalaikan tugasnya atas suaminya bila dipanggilnya, Sabda Rasulullah Muhammad Saw “Bila seorang suami memanggil istrinya ke ranjang lalu tidak dituruti, hingga sang suami tidur dalam keadaan marah kepadanya niscaya para malaikat melaknati dirinya sampai Shubuh,” (Muttafaq ‘Alaih dari hadits abu Hurairah).
Sabda lainnya : “Demi Dzat yang jiwaku berada di tanganNya, tidak seorang suamipun yangmengajak istrinya ke ranjang lalu sang istri enggan memenuhi panggilannya melainkan yang di atas langit (Allah Ta’ala) marah kepadanya sampai suaminya ridha kepadanya,” (HR.Muslim).
Namun sebaliknya, bagaimana bila suaminya menolak panggilan istrinya? Maka sebagian ulama menyatakan wajib hukumnya suami memenuhi kebutuhan istrinya. Ibnu Qudamah: “Berhubungan intim wajib bagi suami jika tidak ada udzur”. Maksudnya tidak alasan bagi seuami untuk tidak memenuhi keinginan istrinya, karena menurut Ibnu Qudanah*1, istri amat tersiksa bila dilalaikan suaminya, karena sebenarnya keinginan istri amatlah besar dibandingkan laki-laki, hanya saja ia pandai menyembunyikannya seolah-olah tidak menjadi masalah. Dalam hal ini Imam Qurtubi, membuat bandingan bahwa syahwat perempuan/istri adalah sembilan banding satu.
Karena itulah bila tidak ditunaikan, maka dapat mendatangkan dosa bagi suami, karena termasuk dalam pelanggaran syariat Islam dalam hak dan memenuhi tuntutan istri, atau merupaka kewajiban suami atas istrinya. Dengan demikian dapat dikatakan dalam hal ini suami dibebankan kewajiban untuk melayani istrinya yang dimana bila ia tidak menggauli istrinya maka ia juga dikenai dosa atas kelalaian kewajibanya dan kedzolimanya. Dalam hal ini keduanya suami dan istri saling berkewajiban untuk saling melayani. Karena dalam masalah pernikahan keduanya memiliki satu hak antara satu dengan lainya dan satu kewajiban antara satu dengan lainya. Bahwasanya nikah adalah demi kemaslahatan suami istri dan menolak bencana dari mereka.Ia (suami) melakukan hubungan untuk menolak gejolak keinginan istri, sebagaimana juga untuk menolak gejolak keinginan suaminya.
[4:1] Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada
Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya
Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah
memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan
bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu
saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahim.
Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.
[4:23] Diharamkan atas kamu (mengawini)
ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan,
saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang
perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki;
anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu
yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri
anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua
perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau;
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
[2:223] Isteri-isterimu adalah
(seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat
bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah
(amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan
ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira
orang-orang yang beriman.
[2:187] Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri
kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi
mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu,
karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka
sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah
untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari
benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai
(datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu
beri'tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu
mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada
manusia, supaya mereka bertakwa.
[2:231] Apabila kamu mentalak isteri-isterimu,
lalu mereka mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara
yang ma'ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma'ruf (pula).
Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan
demikian kamu menganiaya mereka. Barangsiapa berbuat demikian, maka
sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Janganlah kamu
jadikan hukum-hukum Allah permainan, dan ingatlah nikmat Allah padamu,
dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu yaitu Al Kitab dan Al
Hikmah (As Sunnah). Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang
diturunkan-Nya itu. Dan bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah
bahwasanya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
[2:234] Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri
itu) menangguhkan dirinya (ber-iddah) empat bulan sepuluh hari.
Kemudian apabila telah habis 'iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para
wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut.
Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.
[4:12] Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu
itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang
ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan)
seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri
memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah
dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar
hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan
yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi
mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara
perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara
itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari
seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah
dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya
dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan
yang demikian itu sebagai) syariat yang benar-benar dari Allah, dan
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar