Jakarta (Antara) - Metode Imkan-Rukyat (visibilitas
hilal) yang digunakan pemerintah dalam penentuan awal bulan Dzulhijjah
untuk penetapan Idul Adha akan menjadi masalah di masa depan, kata
Koordinator Dakwah Khusus Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah,
Agus Tri Sundani.
"Mulai 2023 hingga 2050 akan terus terjadi perbedaan ketetapan
penanggalan kalau pemerintah terus menggunakan metode Imkan Rukyat,
namun jika yang digunakan hisab dengan kriteria wujudul hilal, maka bisa
terus sama," kata Agus yang juga Sekretaris Pimpinan wilayah
Muhammadiyah DKI Jakarta itu di Jakarta, Rabu. Hal itu karena imkan rukyat sangat tergantung pada hasil pengamatan terhadap bulan, sementara bulan tidak akan bisa dilihat jika masih di bawah dua derajat saat matahari terbenam, bahkan di atas empat derajat pun bisa juga tidak terlihat, ujarnya.
Permasalahan seperti ini, menurut Sekretaris Badan Pembina Harian Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (Uhamka) itu, juga akan terjadi di Arab Saudi, negara yang menjadi penyelenggara ibadah haji, apalagi Saudi menggunakan rukyat murni.
"Pernah kejadian di Saudi pada tahun 2000, penetapan 1 Syawal karena ada yang melapor telah melihat hilal, padahal saat itu belum terjadi ijtimak. Tentu saja ini diprotes para ahli astronomi," katanya.
Muhammadiyah, ujar dia, dalam menentukan awal bulan Kamariah menggunakan konsep hisab hakiki yakni metode hisab yang berpatokan pada perhitungan atas gerak benda langit yang sebenarnya, sedangkan wujudul hilal menggambarkan saat matahari terbenam bulan belum terbenam atau masih di atas ufuk.
Konsep hisab Muhammadiyah ini, ujar dia, harus memenuhi tiga kriteria, yakni sudah terjadi ijtimak (konjungsi atau peristiwa di mana bumi dan bulan berada di posisi bujur langit yang sama yang terjadi sebulan sekali), ijtimak terjadi sebelum terbenam matahari dan ketika matahari terbenam bulan belum terbenam atau masih di atas ufuk.
"Jadi kalau ketiga kriteria itu sudah terpenuhi maka berarti hilal sudah wujud sehingga sejak terbenamnya matahari itu sudah masuk bulan baru Kamariah. Sebaliknya jika ada satu saja dari ketiga kriteria itu tak terpenuhi maka dikatakan hilal belum wujud, sehingga saat matahari terbenam belum masuk waktu bulan baru," katanya.
Menjelang Dzulhijjah 1435 H, jelas dia, ijtimak di Yogyakarta terjadi pada Rabu (24/9) pukul 13.15.45 WIB, sedangkan matahari terbenam di Yogyakarta pukul 17.35.30 WIB sehingga umur bulan saat itu 4 jam 19 menit 45 detik dan bulan masih di atas ufuk dengan ketinggian nol derajat 30-04.
"Karena sudah wujud, kami menetapkan 1 Dzulhijjah 1435 Hijriyah jatuh pada Kamis 25 September 2014, sehingga Idul Adha (10 Dzulhijjah) jatuh pada Sabtu 4 Oktober," katanya.
Ia juga mengatakan, meski wujudul hilal terjadi di bagian barat Indonesia sementara di Indonesia timur belum, karena konsep ini menggunakan teori matlak wilayatul hukmi, jadi kawasan timur yang belum wujud mengikuti wilayah barat yang sudah wujud.
Menurut dia, upaya pemerintah untuk mencari titik temu antara kriteria wujudul hilal dan inkam rukyat sudah berkali-kali dilakukan, termasuk meminta Muhammadiyah menaikkan kriterianya wujudul hilal menjadi dua derajat.
"Kami tak masalah, tapi dua derajat kan memang belum kelihatan, jadi ada usulan empat derajat saja, ada juga yang usul lima derajat. Sampai sekarang belum ada kata sepakat. Kami pun tetap pada kriteria wujudul hilal. Dasarnya Surat Yasin ayat 39-40," katanya. (ar)
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus