Pendahuluan
Dengan
dipelopori oleh mahasiswa, reformasi yang dimulai tahun 1998 telah
menumbangkan rezim Orde Baru yang memerintah secara otoriter selama
lebih tiga dasa warsa. Pada waktu itu ada enam tuntutan reformasi, yaitu
amandemen UUD 1945, pencabutan Dwi Fungsi ABRI (TNI), pemberantasan
korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), penegakan dan supremasi hukum serta
adili Soeharto, pembudayaan demokrasi, dan otonomi daerah yang
seluas-luasnya. Beberapa tuntutan reformasi sampai saat ini sudah
dicapai walaupun belum maksimal. Namun, juga ada tuntutan yang belum
menampakan hasilnya secara signifikan dari harapan rakyat.
Setelah
sembilan tahun sejak reformasi dicetuskan, maka merupakan suatu
kewajaran apabila mahasiswa yang mempelopori reformasi melakukan
evaluasi terhadap pelaksanaan atau hasil reformasi. Hal ini merupakan
bentuk kepedulian untuk mengawal reformasi, dan sekaligus dapat
digunakan untuk mengkritisi serta mencari solusi untuk masa perjalanan
ke depan.
Dengan begitu, permasalahannya adalah sampai sejauh mana hasil-hasil reformasi dan apa yang harus dilakukan selanjutnya?
Evaluasi Singkat Jalannya Reformasi
Peran
mahasiswa sebagai penjaga moral dan kontrol sosial terhadap perjalanan
dinamika bangsa telah dibuktikan pada setiap kurun waktu. Dalam kaitan
dengan jalannya reformasi perlu mengadakan evaluasi, apakah reformasi
dapat berjalan, apakah terhenti, dan apakah ada kemungkinan mengalami
kemunduran. Oleh karena itu, setelah sembilan tahun reformasi berjalan
akan dilihat hal itu, dengan beberapa parameter atau indikator yang
kiranya dapat digunakan.
Pertama,
tentang mengamandemen UUD 1945 antara lain dapat dicermati dengan
pembatasan masa jabatan Presiden paling lama dua periode, perluasan dan
penegasan perlindungan HAM, peninjauan keuangan dan sistem anggaran
negara dengan memfungsikan BPK hingga ke daerah-daerah, penegasan fungsi
lembaga-lembaga tinggi negara dan pemisahan kekuasaan secara tegas, dan
diberlakukannya proses pemilihan Presiden RI secara langsung. Dari
indikator tersebut diharapkan bisa dilihat sampai di mana kemajuan
reformasi.
Tuntutan
untuk mengamandemen UUD 1945, disebabkan banyak praktek penyelenggaraan
negara yang tidak sesuai dengan prinsip hukum dan demokrasi sebagai
akibat kurang jelasnya isi dan bunyi UUD 1945 yang dapat membuka peluang
penafsiran secara sepihak, misalnya lama jabatan Presiden / Wakil
Presiden. Selain itu, UUD 1945 yang pertama ini (“asli”) memberikan
kedudukan terlalu besar kepada lembaga eksekutif (Presiden) dan kurang
menjamin prinsip cheks and balances.
Dalam praktek penyelenggaraan negara banyak menimbulkan permasalahan,
karena memang UUD 1945 itu belum sempurna dan hal itu sudah diakui oleh
para pendiri bangsa ketika akan mengesahkan UUD itu.
Dalam
rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia tanggal 18 Agustus 1945,
yaitu ketika membahas akan disahkannya UUD 1945, Ketua Penyusun UUD
Negara Republik Indonesia Ir. Soekarno telah mengakui bahwa UUD yang
dibuat bukan UUD yang sempurna. Dia antara lain menyatakan “bahwa ini
adalah sekedar Undang-Undang Dasar Sementara, Undang-Undang Dasar kilat,
barangkali boleh dikatakan pula, inilah revolutiegronwet.
Nanti kita membuat Undang-Undang Dasar yang lebih sempurna dan
lengkap.” Oleh karena itu, tuntutan reformasi untuk mengamandemen UUD
1945 merupakan kewajaran.
Sebagai
realisasi dari tuntutan reformasi, Sidang MPR tahun 1998 yang merupakan
sidang MPR pertama pada era reformasi telah mengawali dan memberi jalan
dengan mengeluarkan tiga ketetapan MPR. Pertama, Ketetapan MPR Nomor
VIII/MPR/1998 tentang Pencabutan Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1983 tentang
Referendum. Kedua, Ketetapan MPR Nomor XIII/MPR/1998 tentang Pembatasan
Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden RI yang antara lain berbunyi
“Presiden dan Wakil Presiden RI memegang jabatan selama lima tahun, dan
sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk
satu kali masa jabatan”. Ketentuan ini telah mengubah pasal 17 UUD 1945
yang tidak membatasi masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden. Ketiga,
Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, yang
substansinya menyempurnakan ketentuan mengenai hak asasi manusia seperti
terdapat dalam UUD 1945 pasal 27, pasal 28, dan pasal 29 ayat (2).
Setelah
terbitnya tiga ketetapan MPR tersebut, kehendak untuk melakukan
perubahan UUD 1945 semakin kuat, baik di kalangan masyarakat,
pemerintah, dan kekuatan-kekuatan sosial politik. Pasca Sidang Istimewa
MPR tahun 1998, fraksi-fraksi semakin intensif membahas perubahan UUD
1945 dengan semangat kebersamaan, persaudaraaan, toleransi, dan
mengedepankan kepentingan bangsa dan negara, namun masih memberikan
ruang adanya perbedaan pendapat. Hal itu tercermin baik dalam sidang
Panitia Ad Hoc, Badan Pekerja MPR, maupun sidang MPR. Pembahasan terus
berlanjut pada sidang-sidang selanjutnya.
Ada
lima kesepakatan dasar dalam merubah UUD 1945, yaitu : Pertama, tidak
melakukan perubahan terhadap Pembukaan UUD 1945. Kedua, mempertahankan
bentuk Negara Kesatuan. Ketiga, mempertegas sistem Presidensiil.
Keempat, tidak lagi memakai penjelasan UUD 1945, namun hal-hal yang
normatif dimasukkan dalam pasal-pasal. Kelima, perubahan UUD 1945
dilakukan dengan cara addendum karena tidak semua UUD 1945 diubah (tidak
semua dalam naskah asli dilakukan perubahan).
Di
atas kesepakatan dasar itu Badan Pekerja MPR melalui Panitia Ad Hoc
mencari masukan dan menyerap aspirasi masyarakat dalam membuat rancangan
perubahan UUD 1945. Mereka telah melakukan rapat dengar pendapat umum,
berkunjung ke daerah-daerah, melakukan seminar-seminar, diskusi intensif
antara lain dengan para pakar, kalangan perguruan tinggi, asosiasi
keilmuan, lembaga pengkajian, organisasi kemasyarakatan, dan lembaga
swadaya masyarakat. Di samping itu juga melakukan studi banding ke luar
negeri antara lain ke Jerman, Inggris, Amerika Serikat, Swedia, Denmark,
Republik Rakyat Cina, Jepang, Rusia dan Malaysia. Panitia Ad Hoc juga
melakukan studi kepustakaan tentang konstitusi negara-negara lain tidak
kurang dari tiga puluh naskah konstitusi yang dikaji. Mereka juga
menerima kunjungan komisi konstitusi dari negara lain seperti Thailand,
Korea Selatan, dan Jerman.
Amandemen
UUD 1945 telah memadukan konsep negara hukum dan negara demokrasi. Hal
itu dimuat dalam pasal 1 ayat (2) yang berbunyi “Kedaulatan berada di
tangan rakyat dan dilakukan menurut undang-undang dasar”. Artinya, UUD
lah yang membagi kekuasaaan lembaga-lembaga negara sehingga kedudukan
lembaga-lembaga negara sama derajatnya dan tidak ada lembaga negara yang
mendominasi seperti MPR pada masa sebelum amandemen. Sedangkan pasal 1
ayat (3) berbunyi “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Hal ini
menjelaskan bahwa Indonesia sebagai negara hukum (rechstaat).
Pasal dan ayat-ayat dalam pasal tersebut menegaskan bahwa paham
Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan demokrasi, dan Indonesia
sebagai negara demokrasi yang didasarkan dan dikontrol oleh hukum.
Dengan demikian demokrasi Indonesia adalah demokrasi konstitusional,
artinya demokrasi yang sesuai dan didasarkan pada konstitusi, yaitu UUD
1945. Perubahan lain antara lain dibentuknya Mahkamah Konstitusi (MK).
Berbeda dengan masa sebelumnya di mana suatu kebijakan Presiden dapat
mengakibatkan ia diberhentikan, tetapi setelah perubahan UUD 1945
Presiden hanya bisa diberhentikan di tengah-tengah masa jabatannya
apabila terlebih dulu dilakukan pengujian dan ada keputusan hukum dari
MK.
Peluang
rakyat untuk mengajukan gugatan ke MK untuk menguji apakah sebuah
undang-undang bertentangan dengan UUD 1945 atau tidak juga dijamin
(pasal 24C). Ketentuan ini mencegah peluang adanya kemungkinan
persekongkolan antara Presiden dan DPR dalam membuat undang-undang demi
kepentingannya di mana hal itu sering terjadi pada masa Orde Baru. UUD
1945 merupakan sumber dari berbagai peraturan perundang-undangan, maka
pemerintahan diselenggarakan selain berdasarkan UUD 1945, juga
berdasarkan berbagai peraturan perundang-undangan. Dalam konteks inilah
undang-undang dibuat oleh DPR dengan Presiden, yang diharapkan
lembaga-lembaga negara dapat berfungsi sebagaimana mestinya, berfungsi
dalam sistem checks and balances.
Dalam
kaitan dengan pemenuhan hak-hak warga negara, UUD 1945 juga telah
mempertegas secara rinci. Tentang hak-hak asasi manusia misalnya telah
diatur secara detail dalam sepuluh pasal pada Bab XI A sampai dengan J.
Juga banyak hal yang orientasinya pada public service
yang mengindikasikan keharusan negara mengarah pada negara
kesejahteraan, seperti diatur lebih jelas pada pasal-pasal tentang
fasilitas kesehatan, pelayanan umum, sistem jaminan sosial dan
sebagainya, misalnya yang diatur dalam pasal 31, pasal 33 dan pasal 34.
Perubahan
UUD 1945 membawa Indonesia menjadi negara yang demokratis dengan sistem
presidensiil murni, karena presiden dipilih secara langsung oleh rakyat
dan mempunyai masa jabatan yang pasti, yaitu lima tahun dan dapat
dipilih kembali hanya satu kali lagi (pasal 7). Namun, dalam
pelaksanaannya belum sepenuhnya murni. Walaupun dipilih secara langsung
oleh rakyat, bukan berarti tidak bisa diberhentikan pada masa jabatannya
apabila terbukti melakukan pelanggaran hukum dan dalam hal ini UUD 1945
telah mengaturnya pada pasal 7A. Ini juga salah satu bukti bahwa Negara
Indonesia menganut demokrasi tetapi juga hukum. Oleh karena itu, fungsi
balancing of pwer harus berjalan pada sistem presidensiil, disamping ruang impeachment masih dibuka dengan persyaratan sesuai ketentuan hukum.
Didalam upaya penegakan hukum dan hak asasi manusia adanya balancing of power
diperlukan untuk menghidari kekuasaan yang mendominasi atas
lembaga-lembaga oleh lembaga lain. Jika Presiden (eksekutif) terlalu
kuat dan parlemen lemah misalnya, maka akan bisa mengarah pada
otoritarianisme atau totalitarianisme. Oleh karena itu, masing-masing
lembaga negara mempunyai kesetaraan kewenangan untuk saling mengontrol
dan mengimbangi atau harus dicegah adanya lembaga yang ingin lebih
menguasai yang lain, sebaliknya ada lembaga yang terkikis hak dan
kewenangannya.
Dalam
konteks ini, msih adanya pasal-pasal yang menjurus kepada penggeseran
kekuasaan salah satu lembaga harus dihilangkan atau disempurnakan.
Sebagai contoh, ada yang berpendapat masih terdapat pasal-pasal yang
menipiskan kekuasaan dan kewenangan Presiden dalam menerima duta negara
lain yang harus memperhatikan pertimbangan DPR (pasal 13 ayat 3). dan
kewenangan Presiden untuk mengangkat pejabat pada jabatan jenjang karir
profesional (bukan jabatan politis) yang justru akan mengganggu hak
prerogatif Presiden yang memperoleh mandat dan legitimasi langsung dari
rakyat dalam sistem presidensiil. Juga pasal 7A dan 7B yang menyatakan
DPR dapat menjatuhkan Presiden. Walaupun ada persyaratan-persyaratan dan
prosedurnya tetapi kata-kata itu berkonotasi bahwa DPR lebih memiliki
kedudukan yang lebih tinggi dan tidak seimbang dengan Presiden.
Demikian
juga perlu disempurnakan lagi aturan kewenangan lembaga-lembaga baru
seperti Dewan Perwakilan Daerah sebagai representasi daerah yang miskin
fungsi lantaran kewenangannya sangat terbatas. Munculnya MK juga perlu
dicegah dengan aturan agar jangan sampai mengarah kepada lembaga yang
superior yang melebihi dari tujuan awal dibentuknya. Sedangkan adanya
lembaga Komisi Yudisial perlu diperjelas kewenangannya agar sepadan
dengan tujuannya. Tentang rencana BPK sampai kedaerah-daerah, pada saat
ini masih dalam persiapan.
Amandemen
UUD 1945 sudah dilakukan dengan sungguh-sungguh. Namun, perlu disadari
juga bahwa masih terdapat kelemahan-kelemahan yang perlu disempurnakan.
Oleh karena itu, suatu kewajaran jika wacana untuk amandeman lagi UUD
1945 muncul. Yang penting harus dilakukan adalah melalui pengkajian yang
komprehensif, holistik, lebih teliti, penuh kehati-hatian, dan lebih
melibatkan masyarakat secara representatif dan intensif. Hal itu perlu
ditempuh agar hasilnya lebih mantab dan mengakomodasi aspirasi yang
sesuai dengan konteks serta tidak menyimpang dari Pembukaan UUD 1945.
Dengan begitu diharapkan hasilnya dapat diberlakukan untuk jangka waktu
yang panjang dan menghasilkan sistem pemerintahan yang kuat, stabil,
produktif, dan efektif di satu pihak, tetapi dipihak lain dapat
menghindari otoritarianisme dan penyalahgunaan hukum.
Kedua,
tentang penghapusan Dwi Fungsi ABRI/TNI, dapat dilihat antara lain
dengan hapusnya keberadaan wakil TNI di lembaga legislatif, hapusnya
keberadaan fungsi sosial politik yang dirumuskan dalam ketentuan aturan
yang kuat dan mengikat, pemisahan peran TNI dan Polri, kekaryaan ABRI,
penghapusan fungsi pembinaan teritorial TNI, dan hapusnya bisnis
militer.
Tuntutan
dicabutnya Dwi Fungsi ABRI/TNI lebih disebabkan karena pemerintah Orde
Baru sangat otokratis dan militeristik yang mengekang pertumbuhan
demokrasi, penghargaan hukum dan hak asasi manusia. Hal itu juga
disebabkan peranan dan fungsi ABRI/TNI yang sangat mendominasi semua
aspek kehidupan bangsa lantaran digunakan sebagai alat kekuasaan.
Memasuki era reformasi dan merespon tuntutan rakyat, maka ABRI/TNI
melakukan introspeksi diri atas apa yang telah dilakukan pada masa
sebelumnya. Menyadari kesalahannya yang lalu TNI merumuskan paradigma
baru dan melakukan reformasi internal. Pada awal reformasi tersebut dan
mengantisipasi keadaaan, ABRI/TNI juga menyatakan bertekad mengamankan
jalannya reformasi nasional yang konstitusional.
Menyikapi
tuntutan perubahan, TNI telah menunjukkan pengertiannya dan bersikap
responsif, aspiratif, serta akomodatif terhadap kritik dan saran dari
berbagai pihak. Mulanya ABRI/TNI telah menetapkan paradigma baru peran
sosial politik yang lebih dikenal dengan empat paradigma baru peran
sosial politik ABRI. Artinya, ABRI/TNI masih memiliki peran sosial
politik, namun tidak mendominasi. Ternyata dinamika perkembangan begitu
cepat yang kemudian dinilai bahwa paradigma baru peran sosial politik
TNI belum memenuhi tuntutan reformasi.
Secara
gradual TNI telah melakukan reformasi internal. Dalam kaitan ini pada
tanggal 10 November 1998 telah menghapuskan staf kekaryaan ABRI, Badan
Pembinaan Kekaryaan dan staf Kamtibnas ABRI. Kemudian diikuti dengan
meniadakan kekaryaan melalui keputusan pensiun atau beralih status.
Selanjutnya telah dilakukan pemisahan Polri dari ABRI mulai 1 April
1999, dan menggantikan sebutan ABRI menjadi TNI pada 12 April 1999.
Struktur organisasi sosial politik yang berada di organisasi TNI juga
telah dihapus yaitu Dewan Sospol di pusat maupun di daerah. Demikian
juga telah ditiadakan Bakortanas dan Bakortanasda. Dalam lembaga
pendidikan di lingkungan TNI juga telah dihapuskan pelajaran sosial
politik dari kurikulum.
Akhirnya,
secara resmi paradigma baru peran sosial politik TNI itu tamat
riwayatnya pada tanggal 20 April 2000 ketika hasil rapat Pimpinan TNI
menyatakan bahwa TNI tidak lagi memiliki fungsi sosial politik, dan akan
lebih memusatkan pada peran dan tugas utama pertahanan, dan itu berarti
TNI telah meninggalkan dwi fungsinya, untuk selanjutnya TNI hanya
berperan dan bertugas sebagai alat negara, yang dilakukan bersama unsur
lain sesuai tugas dan fungsinya. Apapun yang dilakukan TNI mesti
konstitusional dan merupakan kehendak rakyat yang dimanifestasikan dalam
keputusan politik pemerintah yang sah.
Pencabutan
dwi fungsi TNI tersebut dipertegas dan diperkuat dengan berbagai
perundang-undangan agar lebih kuat dan mengikat. Termasuk ketentuan
dalam UUD 1945 hasil amandemen yang merubah pasal 30 yang sebelumnya
terdiri 2 ayat menjadi 5 ayat. Perubahan dari dua ayat menjadi lima ayat
adalah yang menyangkut usaha pertahanan dan keamanan (ayat 2) yang
rumusannya sebagai berikut : ”Usaha pertahanan dan kemanan negara
dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh
Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia
sebagai kekuatan utama dan rakyat sebagai kekuatan pendukung”.
Dimasukkannya
sistem pertahanan dan kemanan rakyat semesta (Hankamrata) kedalam UUD
1945 dimaksudkan untuk lebih mengukuhkan keberadaan sistem tersebut,
dengan keberadaan rakyat, TNI dan Polri dalam usaha pertahanan dan
keamanan negara. Rumusan tersebut menunjukkan bahwa sistem Hankamrata
melibatkan seluruh rakyat warga, wilayah dan sumber daya nasional secara
aktif, terpadu, terarah dan berkelanjutan.
Perubahan
ayat pada pasal 30 yang kedua adalah tentang TNI dan Polri yang
tercantum dalam ayat (3) dan (4) yang lebih menegaskan pembagian tugas
dua alat negara yang bergerak di bidang pertahanan dan kemanan negara,
yakni TNI sebagai alat negara di bidang pertahanan, dan Polri sebagai
alat negara di bidang keamanan. Di bidang pertahanan ditegaskan meliputi
tiga aspek yaitu masalah keutuhan negara, kedaulatan negara, dan
keselamatan negara. Selain itu masuk kategori keamanan. Pembagian tugas
yang jelas tersebut diharapkan dapat fokus pada bidangnya dan dapat
meningkatkan profesionalisme TNI dan Polri.
Perubahan
lainnya menyangkut pengaturan hal-hal yang terkait dengan pertahanan
dan keamanan dirumuskan pada pasal 30 ayat (5) yang menyangkut tentang
susunan dan kedudukan Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara
Republik Indonesia, hubungan kewenangan Tentara Nasional Indonesia dan
Kepolisian Negara Republik Indonesia didalam menjalankan tugasnya,
syarat-syarat keikutsertaan warga negara dalam usaha pertahanan dan
keamanan negara. Masih dalam konteks aturan yang mengikat seluruh warga
negara, diterbitkan ketetapan MPR RI Nomor VI/MPR/2000 tentang pemisahan
TNI dan Polri serta perlu adanya kerjasama saling membantu antara TNI
dan Polri di dalam melaksanakan tugasnya di bidang pertahanan negara dan
keamanan. Amanat ketetapan ini adalah pemisahan kelembagaan TNI dan
Polri, dan kemudian telah terwadahi di dalam UU Nomor 2 Tahun 2002
tentan Kepolisian Negara RI, UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan
Negara, dan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Namun, amanat yang
berkaitan dengan kerjasama dan saling membantu antara TNI dan Polri
belum dapat dilaksanakan secara maksimal karena belum ada peraturan
perundang-undangannya. Oleh karena itu masih perlu segera disusun UU
tentang kerjasama dan saling membantu antara TNI dan Polri (UU
Perbantuan). Kemudian juga ditegaskan dalam Ketetapan MPR RI Nomor
VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri. Ketetapan ini
mengamanatkan tentang jati diri, peran, susunan dan kedudukan, tugas
bantuan, dan keikutsertaan TNI dalam penyelenggaraaan negara, serta
tentang peran, susunan dan kedudukan, lembaga kepolisian, tugas bantuan,
serta keikutsertaan Polri dalam penyelenggaraan negara, dan tentang
peran dan tugas TNI dan Polri sebagai alat negara.
Ketetapan
ini juga mengamanatkan untuk membentuk undang-undang yang terkait
antara lain tentang penyelenggaraan wajib militer, peradilan militer
serta yang berkaitan dengan tugas bantuan antara TNI dan Polri. Amanat
tentang peran TNI telah dipenuhi dengan disahkannya UU Nomor 3 Tahun
2002 tentang Pertahanan Negara dan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI,
sedangkan penataan peran Polri telah diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 2002
tentang Polri. Namun, belum ada UU mengenai penyelenggaraan wajib
militer dan tugas bantuan antara TNI dan Polri. Oleh karena itu, masih
perlu dibuat UU tentang wajib militer dan UU tentang tugas bantuan
antara TNI dan Polri. Tentang UU tugas bantuan dipandang lebih banyak
diperlukan karena kenyataan di lapangan memerlukannya. Sedang tentang
peradilan militer, saat ini dalam proses di DPR dan nampaknya sudah ada
titik temu antara DPR dengan Pemerintah (Departemen Pertahanan).
Seiring
adanya reformasi dan amandemen UUD 1945; maka telah dilakukan perubahan
dari doktrin Catur Dharma Eka Karma (Cadek), menjadi doktrin TriDek
(Tri Dharma Eka Karma). Kalau dicermati, doktrin Catur Dharma Eka Karma
(Cadek) lebih dari 50 persen berisi masalah politik. Oleh karena itu,
dengan mengacu pada produk-produk perundang-undangan yang baru, Dengan
TriDek, TNI tidak berperan lagi dalam politik praktis dan akan
memfokuskan dalam tugas bidang pertahanan.
Tentang
tuntutan penghapusan fungsi teritorial, sudah dilaksanakan penghapusan
fungsi yang menyangkut sosial politik, dan termasuk pemutusan hubungan
organisatoris dengan partai Golkar. Nampaknya TNI juga sudah bergeser
mengakui akan pentingnya perubahan organisasi teritorial menjadi
organisasi pertahanan. Namun, sampai saat ini TNI khususnya TNI AD masih
mempertahankan organisasi teritorial untuk melaksanakan diteksi dini.
Yang ideal, pembinaan teritorial merupakan fungsi pemerintah /
pemerintah daerah. Masalahnya adalah sampai sejauh mana pemerintah /
pemerintah daerah siap menerima pelimpahan kembali fungsi itu yang sejak
perang kemerdekaan diambil alih oleh tentara. Menyangkut penghapusan
bisnis TNI, pada saat ini masih dalam proses karena perlu inventarisasi
semua bisnis di lingkungan TNI dan akan di kemanakan atau diapakan
bisnis itu selanjutnya. Dalam kaitan dengan keluarnya TNI dari lembaga
legislatif, telah terlaksana pada sidang umum MPR bulan September 2004
ketika fraksi TNI menyatakan pamit untuk tidak ikut dalam lembaga
legislatif. Keluarnya TNI dari lembaga legislatif itu karena Ketetapan
MPR Nomor VII/MPR/2000 menentukan bahwa TNI-POLRI diwakili di MPR sampai
tahun 2009.
Dari
uraian tersebut, telah nampak bahwa reformasi di tubuh TNI khusunya
pencabutan dwi fungsi TNI dan turunannya telah berjalan walaupun juga
masih berproses menuju TNI yang profesional dan menjadi kebanggan
bangsa. Reformasi kultur diakui akan memakan waktu yang lama karena
menyangkut perubahan perilaku, namun harus dilakukan secara
terus-menerus.
Ketiga, pemberantasan
korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), dapat ditandai dengan adanya
tindakan nyata untuk memberantas KKN, adanya perangkat hukum yang
memadai untuk kepentingan pemberantasan korupsi, dan aparat penegak
hukum yang bersih. Sejalan dengan tuntutan reformasi, MPR RI
mengeluarkan ketetapan Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara
yang bersih dan bebas korupsi, kolusi dan nepotisme. Untuk itu, pejabat
negara harus bersumpah sesuai agamanya, dan harus mengumumkan dan
bersedia diperiksa kekayaannya sebelum dan setelah menjabat. Kemudian,
juga diterbitkan Ketetapan MPR RI Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika
Kehidupan Berbangsa yang dimaksudkan untuk membantu memberikan
penyadaran tentang arti penting tegaknya etika dan moral dalam kehidupan
bangsa, agar menjadi acuan dasar untuk meningkatkan kualitas manusia
yang beriman, bertakwa dan berakhlak mulia serta berkepribadian
Indonesia.
Tuntutan
ini telah diberikan landasan yang lebih banyak dan jelas untuk menjerat
pelaku KKN, antara lain diterbitkannya Ketetapan MPR RI Nomor
VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan
Pencegahan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Untuk meningkatkan
operasionalisasi upaya pemberantasan KKN, telah dibentuk beberapa
organisasi antara lain Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Tim
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tim Tastipikor) dan sebagainya.
Hasil
pemberantasan KKN nampak meningkat, namun belum memenuhi harapan
masyarakat. Pelaku korupsi yang berkaliber besar banyak yang belum
tertangkap. Sementara di lingkungan pejabat pemerintah juga masih
terjadi tindak pidana korupsi, baik di pusat maupun di daerah. Oleh
karena itu, keikutsertaan masyarakat termasuk mahasiswa untuk memberikan
informasi tentang adanya tindak pidana korupsi diperlukan, namun harus
dengan data yang cermat dan akurat.
Keempat, pembudayaan
demokrasi, dapat ditandai dengan belangsungnya kehidupan demokrasi yang
sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku. Disamping itu,
harus memperhatikan dan memenuhi etika demokrasi, serta berperilaku
demokratis.
Seperti
telah disebutkan dalam membicarakan amandemen UUD 1945, bahwa konsep
negara demokrasi telah dikukuhkan dalam UUD 1945 hasil amandemen.
Pasal-pasal dalam UUD 1945 itu banyak yang lebih menegaskan bahwa
Indonesia menganut demokrasi konstitusional. Penegasan itu antara lain
“kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilakukan menurut undang-undang
dasar”. Sebelumnya, kedaulatan rakyat itu dilakukan oleh MPR, dan MPR
merupakan lembaga tertinggi. Setelah amandemen, kedudukan lembaga tinggi
negara sejajar atau sederajat, dan diharapkan dapat dicapai prinsip checks and balances
untuk meneguhkan demokrasi. Pasal lain misalnya pembatasan masa jabatan
Presiden dan Wakil Presiden, tentang HAM yang lebih rinci diatur dalam
UUD 1945, adanya undang-undang yang menjamin kebebasan pers, tumbuhnya
partai politik dan organisasi massa, dan masih banyak hal yang
menunjukkan tekad untuk membangun demokrasi.
Dari
kenyataan di atas, dapat terlihat bahwa dari struktur dapat
direalisasikan upaya pembangun demokrasi. Namun, membangun demokrasi
bukan sekedar memperkuat lembaga-lembaga politik demokrasi, tetapi juga
harus menerapkan tingkah laku politik yang mencerminkan nilai-nilai dan
budaya demokrasi dalam praktek sehari-hari. Demokrasi dapat tumbuh jika
sudah tumbuh tradisi demokrasi, tidak hanya perlu institusi demokrasi.
Oleh karena itu, menilai perkembangan demokrasi harus memperhatikan
kriteria, karakter, norma dan etika demokrasi.
Tuntutan
reformasi untuk membudayakan demokrasi adalah hal yang sangat baik.
Dilihat dari praktek demokrasi, tuntutan itu belum dapat dicapai. Namun,
hal itu tidak masalah, karena pada saat ini Indonesia masih dalam tahap
transisi demokrasi dan jauh dari konsolidasi demokrasi. Pengalaman
negara lain dalam membangun demokrasi memang memerlukan waktu yang
panjang.
Oleh
karena itu, harus dilakukan pembudayaan demokrasi secara berlanjut.
Karakter demokratis harus tertanam pada semua warga bangsa, antara lain
resiprositas, yaitu kesediaan untuk memahami perspektif orang lain
sebagai perspektifnya sendiri dan kesiapan bertindak demi kepentingan
orang lain seperti bertindak untuk kepentingan sendiri, sikap toleran,
dan fleksibel. Disamping itu, perlu mengetengahkan pentingnya
nilai-nilai civility
(keadaban) dalam praktek kehidupan demokrasi yang mengedepankan
kesopanan, kesantunan, tata krama, moral, kejujuran dan keadilan.
Kelima, penegakan
hukum dan supremasi hukum dapat dilihat dari kemandirian kekuasaan
kehakiman, dibersihkannya lembaga peradilan dari KKN, diaktifkannya judicial review atau
uji materi Undang-Undang terhadap UUD 1945, pengadilan terhadap
Soeharto, keluarga dan kroni-kroninya, dan pembatasan wewenang Mahkamah
Militer.
Upaya
penegakan hukum dan supremasi hukum dilakukan antara lain dengan
merubah UUD 1945 pasal 24 khususnya dinyatakan pada ayat 1, yang
dimaksudkan untuk mempertegas bahwa tugas kekuasaan kehakiman dalam
sistem ketatanegaraan Indonesia yakni untuk menyelenggarakan peradilan
yang merdeka, bebas dari intervensi pihak mana pun, guna menegakkan
hukum dan keadilan. Dengan perubahan undang-undang dasar itu telah
menjamin adanya kemandirian kekuasaan kehakiman. Dengan
kekuasaan kehakiman yang merdeka dan mandiri, lembaga-lembaga negara
pemegang kekuasaan tersebut dapat bertindak sesuai dengan koridor hukum
yang berlaku sehingga pengalaman buruk implementasi kekuasaan kehakiman
sebelum reformasi yang penuh dengan rekayasa penguasa dapat dihilangkan.
Dalam kenyataannya, kemandirian itu masih dalam proses secara
berlanjut, artinya belum sepenuhnya berhasil
Keadilan
tidak boleh dibedakan atas dasar latar belakang (sosial, ekonomi,
politik, ideologi, etnisitas, ras, warna kulit, agama, gender, keyakinan
politik, dan apapun). Keadilan harus dapat diraih oleh semua orang (
kaya,miskin, sipil,militer, swasta, negeri, rakyat, pemimpin, tua dan
muda). Artinya, jika pejabat bersalah dapat dihukum oleh pengadilan dan
dituntut ganti rugi. Begitu juga jika masyarakat biasa yang bersalah
dapat dituntut dan diproses secara hukum sehingga tercapainya tujuan
hukum yaitu kepastian hukum dan keadilan. Hal ini sudah dilakukan dengan
mengadili aparat penegak hukum yang melakukan tindak pidana, dan atau
diberhentikan dari tugas dan jabatannya. Namun, upaya itu masih perlu
dilanjutkan secara konsisten.
Melalui
reposisi fungsi kedudukan lembaga peradilan dalam undang-undang, saat
ini terdapat kemajuan yang menggembirakan dimana seluruh kelembagaan
tersebut secara bersama-sama telah berkomitmen untuk melakukan pembinaan
sumber daya manusia aparatur hukum. Wujud dari upaya tersebut,
penyelenggaraan peradilan yang bersih dan bebas sudah menjadi pedoman
dalam berperkara. Terdapat indikasi adanya kemajuan penyelenggaraan
peradilan dengan mengedepankan bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme
(KKN), namun masih jauh dari harapan. Lembaga peradilan sebagai tempat
orang mencari keadilan memang sudah sewajarnya membebaskan diri dari
budaya KKN. Dengan demikian diharapkan upaya penegakan hukum dapat berjalan secara teratur dan berkesinambungan secara sistemik dan sesuai prosedur, sehingga dalam memproses perkara tidak bersifat tebang pilih.
Judicial review juga sudah berjalan. Banyaknya upaya judicial review
oleh MK, menunjukkan kesadaran berkonstitusi warga negara dalam
pencapaian negara demokratis mengalami kemajuan, dan hal ini merupakan
hal yang mengembirakan dan menjadi hal yang penting untuk tegaknya
supremasi hukum di Indonesia.
Upaya
lain dalam mewujudkan supremasi hukum sebagai bagian dari tuntutan
reformasi adalah pengadilan terhadap Soeharto, keluarga, dan
kroni-kroninya. Secara normatif, upaya ini telah diakomodir dalam
Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih
dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Inilah satu-satunya peraturan
perundangan yang menyebutkan secara eksplisit nama seseorang untuk
dituntut secara hukum, padahal prinsip peradilan hukum adalah praduga
tidak bersalah. Namun demikian, mungkin ini pula ketentuan yang akan
sulit untuk direalisasikan karena sampai saat ini fakta menunjukkan
bahwa upaya penegakkan hukum penyelesaian kasus yang melibatkan mantan
presiden Soeharto berlarut-larut dan sampai pada putusan dihentikan
dengan alasan Pak Harto sakit permanen. Mungkin ini menjadi pertanyaan
besar karena merupakan salah satu tuntutan reformasi, apakah masih ada
harapan kasus ini terus berlanjut atau malah dibumikan. Terhadap
keluarga dan kroni-kroninya ada yang telah diadili seperti Probosutedjo,
Tommy, dan Bob Hasan.
Berkaitan dengan pembatasan wewenang Mahkamah Militer, sudah dilakukan dengan
menempatkan Mahkamah Militer di bawah Mahkamah Agung. Sedangkan masalah
pengadilan terhadap anggota militer yang melakukan tindak pidana umum,
saat ini RUUnya masih dalam proses pembahasan di DPR. Dalam
pelaksanaannya nanti tentu memerlukan proses transisi. Masih terkait
dengan penegakan hukum dan supremasi hukum, perlu upaya yang lebih
serius untuk pengadilan kasus Tri Sakti, kasus Semanggi I dan II, serta
pelanggaran HAM lainnya.
Berkenaan
dengan penegakkan hukum dan supremasi hukum ini, Undang-Undang Dasar
telah mengakomodir semua praktek untuk mewujudkan supremasi hukum karena
semua aturan telah disusun secara komprehensif yang memungkinkan semua
orang diperlakukan sama dihadapan hukum. Persoalannya adalah, semangat penyelenggaraan saat
ini belum sepenuhnya mendukung cita-cita penegakkan hukum yang ada.
Kesan sekarang, masyarakat justru kurang mempercayai keseriusan
penyelenggara negara dalam membangun pemerintahan yang bersih dan
berwibawa. Jadi, seiring dengan berjalannya reformasi
dan dukungan perangkat peraturan perundang-undangan, sudah semestinya
pemerintah bersama-sama dengan rakyat mampu mengembalikan kepercayaan
masyarakat terhadap penyelenggara negara dalam menegakkan supremasi
hukum.
Dengan
demikian, berbagai upaya pembenahan internal bersamaan dengan proses
perbaikan perangkat hukum harus dilakukan secara simultan. Tindakan ini
tidak hanya diperlukan untuk memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap
penyelenggara negara, tapi sekaligus untuk menghindari terulangnya
malapetaka hukum sebagai kompromi penguasa dalam mempertahankan hegemoni
kekuasaannya seperti masa sebelum reformasi. Pembenahan internal yang
dimaksud adalah berupaya secara keras untuk mewujudkan good governance.
Keenam, otonomi
daerah yang seluas-luasnya dengan indikatornya antara lain dari
pemberdayaan dan kemandirian DPRD dalam proses pemilihan ketuanya,
proses pemilihan kepala daerah secara langsung, pembagian pendapatan
antara pusat dan daerah, dan pelaksanaan otonomi daerah sampai pada
tingkat Kabupaten dan Kota.
Upaya
otonomi daerah telah dilaksanakan dengan perubahan Pasal 18 UUD 1945
yang dilatarbelakangi oleh kehendak untuk menampung semangat otonomi
daerah dalam memperjuangkan kesejahteraan masyarakat daerah. Perubahan
tersebut menjadi dasar hukum bagi
pelaksanaan otonomi daerah yang dalam era reformasi menjadi salah satu
agenda nasional. Semua ketentuan itu dalam kerangka menjamin dan
memperkuat Negara Kesatuan Republik Indonesia, sehingga dirumuskan
hubungan kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah
dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah.
Pernyataan
“dibagi atas” (bukan terdiri atas) dalam ketentuan Pasal 18 ayat (1)
menunjukkan bahwa negara Indonesia adalah negara kesatuan yang
kedaulatan negara berada di tangan pusat, berbeda dengan istilah terdiri
atas yang lebih menunjukkan substansi federalisme karena istilah itu
menunjukkan letak kedaulatan berada di tangan negara-negara bagian.
Salah
satu amanat UUD 1945 hasil perubahan yang terkait dengan
penyelenggaraan pemerintahan di daerah adalah diberikannya keleluasaan
yang sangat luas kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah.
Penyelenggaraan otonomi daerah menurut undang-undang dasar menekankan
pentingnya prinsip-prinsip demokrasi, peningkatan peran serta
masyarakat, dan pemerataan keadilan dengan memperhitungkan berbagai
aspek yang berkenaan dengan potensi dan keanekaragaman antar daerah.
Pelaksanaan
otonomi daerah dianggap sangat penting karena tantangan perkembangan
lokal, nasional, regional, dan internasional di berbagai bidang yang
terus meningkat. Perkembangan keadaan obyektif mengharuskan
diselenggarakannya otonomi yang luas, nyata, dan bertanggung jawab.
Otonomi diterjemahkan sebagai penegakan kedaulatan rakyat
semurni-murninya tanpa keluar dari bingkai NKRI.
Kebijakan
otonomi daerah, juga tercamtum dalam Ketetapan MPR Nomor XV/MPR/1998
tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan, Pembagian, dan
Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan; serta Perimbangan
Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia, antara lain merekomendasikan bahwa prinsip otonomi daerah
harus dilaksanakan dengan menekankan pentingnya kemandirian dan prakarsa
dari daerah-daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah serta
memberikan kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung jawab di daerah
secara proporsional diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan
pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan serta perimbangan
keuangan pusat dan daerah, dimana ketentuan tersebut lebih lanjut harus
dituangkan dalam undang-undang. Sesuai dengan ketentuan UUD 1945 dan
Ketetapan MPR Nomor XV/MPR/1998, prinsip otonomi daerah telah menjamin
pluralisme antar daerah dan tuntutan keprakarsaan dari tiap daerah untuk
menjalankan fungsi pemerintahan dan pembangunan.
Oleh
karena itu, hanya melalui pemahaman kolektif bangsa terhadap seluruh
aturan dasar serta konsentrasi dalam implementasi dari berbagai
peraturan perundangan yang telah diberlakukan yang dapat mensukseskan
agenda otonomi daerah. Melalui penyelenggaraan otonomi daerah diharapkan
akan terwujud pemerintahan daerah yang dapat menjamin berjalannya
fungsi-fungsi publik dalam kerangka optimalisasi pemanfaatan sumber daya
daerah dengan tetap mengedepankan kepentingan dan keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Semangat otonomi daerah yang tercermin dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan pada dasarnya mencoba mendudukan politicalwill
pemerintah untuk memberikan kewenangan pada daerah mengelola daerah
sesuai dengan kemampuan sumber daya yang dimiliki. Otonomi daerah tidak
diorientasikan untuk peningkatan pendapatan asli daerah, tetapi
pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
daerah dengan memadukan pendekatan kultural dan struktural. Dengan
pendekatan itu, berarti rakyat adalah subyek dalam pembangunan dan bukan
menjadi obyek belaka. Disinilah esensi otonomi yang sesuai dengan
kehendak rakyat dan tuntutan reformasi.
Sesuai
dengan semangat reformasi, semangat otonomi daerah tersebut perlu terus
di kedepankan dengan peningkatan dukungan perangkat yang tangguh dan
semangat penyelenggara yang bersih dan terbuka. Munculnya berbagai
persoalan penyelenggaraan pemerintahan di daerah saat ini, secara umum
lebih pada persoalan penyelenggara yang kurang optimal memanfaatkan
segala potensi yang dimiliki dan kurang memfokuskan pada tujuan utama
dari otonomi daerah.
Melalui
reformasi ini, kemajuan dalam penyelenggaraan otonomi daerah salah
satunya tercermin pada reposisi DPRD sampai tingkat Kabupaten dan Kota
sebagai penyelenggaraan pemerintahan bersama dengan kepala daerah dan
adanya PILKADA secara langsung. Saya sangat memberikan apresiasi karena
ternyata masyarakat kita yang sedang dalam proses pembelajaran demokrasi
justru capaian demokratisasinya sangat dinamis. Masih adanya beberapa
gejolak di daerah dalam penyelenggaraan PILKADA, harus dipahami sebagai
ekses dan bunga-bunga demokrasi dalam proses pertumbuhan menuju
kedewasaannya.
Harapan Pada Mahasiswa
Peran
mahasiswa sebagai kekuatan moral dan intelektual sangat diperlukan
dalam kehidupan bangsa. Dalam kaitan ini perlu dijaga netralitas atau
non partisan dalam politik praktis. Politik di kalangan mahasiswa
dimaksudkan untuk pendidikan politik bagi melakukan perannya sebagai
kekuatan moral, dan bukan kegiatan yang mengarah keinginan meraih
kekuasaan atau berkuasa. Namun, juga dapat merupakan penyiapan diri
mahasiswa untuk dapat tampil di arena politik pada saatnya nanti setelah
berhasil dalam studinya.
Mobilisasi
perguruan tinggi untuk mendapatkan dukungan dalam memperoleh karir
politik tidak sesuai dengan sifat perguruan tinggi yang independen dan
sikap ilmiah untuk menyiapkan mahasiswa agar mempunyai hasrat ingin tahu
dan belajar secara serius, daya analis yang tajam, daya kritis,
kreatif, objektif, konstruktif, jujur, rasa tanggung jawab yang tinggi.
Selain itu, juga sifat keterbukaan terhadap pendapat baru dan siap dalam
perbedaan pendapat dan kritik, sikap bebas dari prasangka, orientasi ke
masa depan, sikap menghargai nilai, norma, kaidah dan tradisi ilmiah,
tidak merasa paling benar tetapi dapat membuka diri dalam suasana
dialogis.
Sebagai
kekuatan moral dan intelektual gerak langkah mahasiswa harus dinamis
kritis, tetapi konseptual, bernuansa akademik dalam arti bernalar dan
rasional, menjungjung tinggi kehormatan dan martabat mahasiswa, tidak vested interest,
demokratis dan egaliter memancarkan nilai-nilai luhur, norma beradab,
akhlakul karimah, serta tidak anarkis atau tidak dengan jalan kekerasan.
Dengan prinsip tersebut, diharapkan setelah lulus pendidikan akan
unggul secara intelektual, anggun secara moral, kompeten menguasai ilmu
pengetahuan dan teknologi, memiliki komitmen tinggi untuk berbagai peran
sosial dengan berpartisipasi aktif dalam aktualisasi masyarakat madani
yang bercirikan kekuatan moralitas, kekuatan ilmu pengetahuan, dalam
tatanan hukum yang menjamin demokrasi dan equality.
Sebagai generasi muda penerus kepemimpinan bangsa, harus memiliki
profil bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berkepribadian stabil, mampu
bekerjasama, mampu berkompetisi secara sehat, dan beridealisme tinggi
untuk kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara, serta dapat memerankan
diri secara handal sebagai perekat kebangsaan.
Penutup
Mahasiswa sebagai moral force
telah memerankan diri dalam kehidupan bangsa dan negara sesuai kurun
waktunya. Peran mahasiswa dalam reformasi telah ditunjukkan sebagai
pelopor untuk melakukan perubahan dan pembaharuan dalam konteks sistem
ketatanegaraan Indonesia.
Keberhasilan
mahasiswa dalam mencetuskan reformasi seyogyanya tidak menjadikan
mahasiswa tinggi hati. Reformasi pada hakekatnya belum sepenuhnya
mencapai harapan, karena masih banyak yang memerlukan pelurusan,
perbaikan, dan akselerasi. Oleh karena itu, peran mahasiswa masih
diharapkan sebagai pengawal dan pengontrol reformasi.
Di
samping itu, diperlukan partisipasi aktif dan proaktif mahasiswa dalam
berbagai peran sosial untuk mengatasi persoalan bangsa dengan
memanfaatkan kemampuan intelektualnya dan semangat kepemudaannya yang
diiringi dengan kekuatan moral. Semangat kebangsaan para generasi muda
calon penerus kepemimpinan bangsa harus selalu dipupuk dan ditumbuh
kembangkan.
*
Disampaikan sebagai Keynote Speaker atas nama Pimpinan MPR RI pada
Seminar Nasional 9 Tahun Reformasi Indonesia, yang diselenggarakan oleh
Panitia Pelaksana Peringatan 9 Tahun Reformasi BEM se-Indonesia, di
Medan, tanggal 16 Mei 2007.
DISADUR DARI KOMPASIANA 11 JULI 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar