Undang-Undang Nomor 14
Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Pasal 1 angka 1 menegaskan bahwa “Guru
adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar,
membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik
pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan
dasar, dan pendidikan menengah”. Dari batasan ini sudah sangat jelas
bahwa profesi Guru adalah jabatan mulia dengan tugas utama untuk
mempersiapkan dan meletakkan dasar yang kuat bagi anak didik untuk
memperoleh pengetahuan, ketrampilan dan sikap prilaku sesuai tujuan
Pendidikan Nasional yaitu “Manusia yang beriman dan dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab”.
Mengingat pentingnya keberadaan Guru dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, maka Pemerintah selalu berusaha
secara nasional untuk memenuhi kebutuhan Guru dengan menyediakan formasi
dalam pengadaan CPNS setiap tahun dan berupaya menekan Pemerintah
Daerah agar melakukan pembinaan dan pengembangan Guru secara benar
sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku, bukan menjadikan Guru
sebagai obyek dan sasaran empuk untuk kepentingan politik tertentu
Penguasa Daerah, memindahkan dan memberhentikan Guru sesuai keinginan
Penguasa bahkan menjadikan Guru sebagai sapi perahan dengan pemotongan
gaji Guru dan penghasilan lainnya secara tidak bertanggung jawab.
Men.PAN & RB sebagai Lembaga Negara yang
diberikan kewenangan merumuskan kebijakan dalam rangka pendayagunaan PNS
secara efektif dan efisien, telah mengeluarkan Surat Edaran
Nomor : SE/15/M.PAN/4/2004 Tanggal 25 April 2004 tentang Larangan
Pengalihan PNS dari Jabatan Guru ke Jabatan Non Guru yang secara tegas meminta kepada Gubernur dan Bupati/Walikota untuk “segera menghentikan dan melarang pengalihan PNS dari jabatan Guru ke jabatan lain”.
Surat Edaran tersebut disusul dengan surat Men.PAN Nomor
:B/1440/M.PAN/7/2004 tanggal 20 Juli 2004 perihal Penjelasan Surat
Edaran Men.PAN Nomor : SE/15/M.PAN/4/2004 Tanggal 25 April 2004 yang
menegaskan bahwa “Guru hanya dapat dipindahkan ke jabatan lain
dalam lingkup bidang keilmuan yang serumpun, antara lain Pengawas
Sekolah, Kepala Sekolah, Kepala Dinas/Sub Dinas/Cabang Dinas, Kepala
Bidang/Subdit, dan jabatan lain yang mengelola bidang pendidikan”.
Penegasan Pemerintah melalui Men.PAN & RB
di atas, ternyata sama sekali dipandang sebelah mata dan disepelekan
oleh Penguasa Daerah hasil Pilkada yang merasa bahwa dialah Penguasa
yang memiliki segalanya dan bebas mengatur PNS sekehendak hatinya. Rambu
dan aturan yang telah ditetapkan secara nasional melalui UU, PP dan
peraturan pelaksanaannya dibidang kepegawaian tidak ditaati sama sekali
dan ditabrak secara arogan. Kejadian seperti ini diera otonomi daerah
bukanlah sesuatu aneh, Guru dijadikan obyek yang sangat empuk untuk
digunakan sebagai senjata politik Penguasa karena disamping jumlahnya
banyak, Guru juga menjadi tokoh masyarakat yang cukup berpengaruh dan
terpandang dikalangan masyarakat, terutama di wilayah pelosok desa.
Khususnya di Kabupaten Kepulauan Selayar,
dengan tipe pemerintahan Dinasti Otoriter yang dijalankan oleh Bupati H.
SYAHRIR WAHAB sangat jelas sekali betapa nasib Guru sangat
memprihatinkan. Para Guru yang dianggap tidak memberikan dukungan
kepadanya pada saat Pilkada menjadi sasaran dendam membara dari Sang
Penguasa bersama kroninya. Sebelum Pilkada berlangsung seorang Kepala
Sekolah bernama AMIRUDDIN secara sepihak diberhentikan dari jabatannya
menjadi Guru Bantu dan ditempatkan diwilayah sangat terpencil hanya
karena memiliki hubungan kekeluargaan dengan Calon Bupati/Wakil Bupati
lain selain “incumbent”. Setahun setelah
Bupati/Wakil Bupati dilantik, tepatnya pada tanggal 5 Oktober 2011,
sebanyak 13 orang Kepala Sekolah lainnya diberhentikan jadi Guru Bantu
tanpa alasan sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Dan yang
sangat memprihatinkan, salah seorang Kepala Sekolah yang baru saja
dinilai oleh Tim Akreditasi Sekolah Tingkat Propinsi Sulawesi Selatan
dengan “Nilai Akreditasi Terbaik” juga ikut diberhentikan tanpa alasan. Nasib Ibu ANDI RAHMAT Kepala
Sekolah SDI Tombangangia Desa Lantibongan Kecamatan Bontosikuyu ini
sangat jauh sistem pembinaan dan pengembangan karier PNS.
Dibalik pemberhentian 13(tiga belas) orang
Kepala Sekolah tersebut terjadi sesuatu yang cukup lucu sekaligus sangat
tidak rasional yaitu ditempatkannya 4(empat) orang Kepala Sekolah
menjadi Guru Bantu disatu sekolah secara bersama-sama yaitu di SDN
Bontobuki Kecamatan Buki. Ini mungkin dilakukan karena Camat di
Kecamatan Buki tempat sekolah itu berada adalah suami Kepala Bidang
Mutasi BKD Ibu RATNAWATI, SS, MM yang merupakan Putri Mahkota Sang
Penguasa Bupati H. SYAHRIR WAHAB.Hal lain juga sungguh mengelitik para
pemerhati pendidikan adalah ditempatkan seorang Kepala TK Pertiwi
dibawah Dinas Pendidikan Nasional ke RA/TK dibawah Kantor Kementerian
Agama Kabupaten yang sudah memiliki Kepala Sekolah sendiri dengan SK
Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten. Kejadian ini sama saja dengan
menyerobot masuk rumah tangga orang tanpa minta izin lebih dahulu.
Akibatnya Kepala TK Pertiwi tersebut akan kehilangan penghasilan dari
tunjangan sertifikasi sebagai Guru yang diberi tugas tambahan sebagai
Kepala Sekolah.
Disisi lain bagi Guru yang dianggap berjasa
dalam memenangkan Sang Penguasa dalam Pilkada, maka mereka dipromosikan
menduduki jabatan struktural Eselon III di linkungan Pemerintah Daerah
walaupun itu sangat jauh dari latar belakang pndidikannya sebagai
seorang Guru dengan ijazah Sekolah Pendidikan Guru (SPG). Ada yang
dipromosikan menjadi Kepala Bagian Umum Sekretariat DPRD, ada pula yang
diangkat menjadi Sekretaris Kecamatan (Sekcam). Pengangkatan seorang
Guru pada jabatan struktural ini sangat jauh menyimpang dari ketentuan
peraturan perundang-undangan kepegawaian, baik dari segi kompetensi PNS
yang bersangkutan maupun persyaratan lainnya.
Apa jawaban yang diperoleh ketika para Kepala
Sekolah itu mempertanyakan nasib mereka kepada para Pejabat Birokrasi
yang termasuk dalam keanggotaan BAPERJAKAT terutama
Sekda sebagai Ketua, Kabid Mutasi BKD sebagai Sekretaris, dan Kepala BKD
sebagai penanggung jawab pengelolaan administrasi kepegawaian adalah
bahwa itu adalah Perintah Langsung Bapak Bupati.
Jawaban yang sangat singkat dari seorang Pejabat yang seharusnya mampu
memberikan pertimbangan hukum sesuai ketentuan perundang-undangan yang
berlaku kepada Bupati ternyata tidak terjadi sama sekali. Padahal
pertimbangan itu sangat diperlukan agar Bupati mengerti dan memahami
bahwa kewenangannya itu baru bisa berlaku ketika keinginan dan perintah
itu sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku sehingga
tidak menuai protes atau kritikan dari berbagai pihak. Mungkin para
Pejabat seperti inilah yang biasa disebut para Pakar sebagai Pejabat ABS alias Asal Bapak Senang yang rela mengorbankan idealismenya demi mempertahankan kedudukannya.
Uraian tentang fakta yang terjadi di atas
menggambarkan betapa memprihatinkan nasib Guru di daerah, sekaligus
memperlihatkan betapa lemahnya penegakan peraturan perundang-undangan
kepegawaian yang telah ditetapkan oleh Pemerintah. Semoga tulisan
singkat ini dapat dibaca oleh semua pihak terutama lembaga yang
berwenang dibidang Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi
(Men.PAN & RB) dan lembaga yang Pengelola dan Pembina Administrasi
Kepegawaian Negara (Badan Kepagawaian Negara atau BKN), sehingga dapat
melakukan pengawasan yang lebih ketat kepada daerah dalam pembinaan dan
pengembangan PNS secara profesional sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan kepegawaian yang berlaku dan bebas dari kepentingan
politik para Penguasa Daerah.
Benteng Selayar, 14 Nopember 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar