Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
pejabat sementara Menteri/Panglima Angkatan Darat |
|
---|---|
Masa jabatan 1965 – 1965 |
|
Didahului oleh | Ahmad Yani |
Digantikan oleh | Soeharto |
Informasi pribadi | |
Lahir | 1920-an Hindia Belanda |
Meninggal | 2006 Jakarta, Indonesia |
Kebangsaan | Indonesia |
Profesi | Tentara |
Agama | Islam |
Didahului oleh: Ahmad Yani |
pejabat sementara Kepala Staf TNI Angkatan Darat 1965 |
Diteruskan oleh: Soeharto |
CATATAN KRONOLOGIS SEKITAR PERISTIWA GERAKAN G.30 S/PKI
Di bawah ini adalah beberapa catatan ringkas dari saya, sekitar
kejadian dan peristiwa baik yang saya alami maupun saya ketahui sekitar
gerakan G.30S/PKI yang terjadi pada tanggal 1 Oktober 1965. Singkatnya
secara kronologis dan numerik dapat saya tuliskan disini sbb.:
Pertama, pada tanggal 1 oktober 1965 kurang lebih jam 06.00 pada saat saya sedang mandi, maka datanglah Brig.Jen Dr. Amino (Ka.Dep.Psychiatri RSGS Jakarta) yang dengan serta-merta memberitahukan tentang diculiknya Let.Jen.
A.Yani beserta beberapa Jenderal lainnya oleh sepasukan bersenjata yang
belum diketahuinya. Sesudah mandi, maka saya segera berangkat ke MBAD
dengan mengenakan pakaian dinas lapangan.
Kedua, setibanya di MBAD dan setelah menampung beberapa berita dari
beberapa sumber, maka oleh karena pada saat itu saya kebetulan sebagai
Pati yang berpangkat tersenior, saya segera memprakarsai untuk
mengadakan rapat darurat diantara para asisten Men./pangad atau wakilnya
yang hadir pada saat itu di MBAD, yaitu para pejabat teras SUAD dari
asisten Men.Pangad sampai asisten VII Men.Pangad termasuk Irjen P.U dan
Pejabat Sekretariat.
Setelah menampung beberapa laporan dan keterangan dari sumber-sumber yang dapat dipercaya, maka rapat menyimpulkan: Secara positif bahwa Let. Jen. A.Yani beserta lima orang Jenderal lainnya telah diculik oleh sepasukan penculik yang pada saat itu belum dapat dikenal secara nyata.
Berikutnya, rapat memutuskan untuk menunjuk May.Jen Soeharto Pang.kostrad agar bersedia mengisi pimpinan AD yang terdapat vacuum. Melalui korier khusus, maka keputusan rapat kita sampaikan kepada May.Jen Soeharto di MAKOSTRAD.
Setelah menampung beberapa laporan dan keterangan dari sumber-sumber yang dapat dipercaya, maka rapat menyimpulkan: Secara positif bahwa Let. Jen. A.Yani beserta lima orang Jenderal lainnya telah diculik oleh sepasukan penculik yang pada saat itu belum dapat dikenal secara nyata.
Berikutnya, rapat memutuskan untuk menunjuk May.Jen Soeharto Pang.kostrad agar bersedia mengisi pimpinan AD yang terdapat vacuum. Melalui korier khusus, maka keputusan rapat kita sampaikan kepada May.Jen Soeharto di MAKOSTRAD.
Ketiga, pada hari itu juga tanggal 1 Oktober 1965 k.l jam: 09.00 saya
menerima laporan dari MBAD yang mengatakan bahwa menurut siaran RRI
saya ditunjuk oleh Presiden/Panglima tertinggi untuk menjabat sebagai
carataker Men./Pangad. Oleh karena baru merupakan berita, maka saya
tetap tinggal di Pos Komando MBAD untuk menunggu perintah lebih lanjut.
Keempat, bahwa pada hari itu juga tanggal: 1 Oktober 1965 sesudah
saya menerima berita tentang penunjukkan saya untuk menjabat sebagai
carataker Men./Pangad, maka berturut-turut datanglah utusan-utusan dari
Presiden/Panglima Tertinggi yaitu:
1. Let.Kol.Inf. Ali Ebram, Kasi I Staf Resimen Cakrabirawa yang datang k.l jam: 09.30
2. Brig.Jen. TNI Soetardio, Jaksa Agung, bersama Brig.Jen. Soenarjo, Ka.Reserse Pusat Kejaksaan Agung yang datang bersama pada jam: 10.00 (k.l)
3. Kolonel Bambang Wijarnako, Ajudan Presiden/Pangti yang datang sekitar j am: 12.00.
1. Let.Kol.Inf. Ali Ebram, Kasi I Staf Resimen Cakrabirawa yang datang k.l jam: 09.30
2. Brig.Jen. TNI Soetardio, Jaksa Agung, bersama Brig.Jen. Soenarjo, Ka.Reserse Pusat Kejaksaan Agung yang datang bersama pada jam: 10.00 (k.l)
3. Kolonel Bambang Wijarnako, Ajudan Presiden/Pangti yang datang sekitar j am: 12.00.
Oleh karena saya sudah terlanjur masuk dalam hubungan komando taktis dibawah May.Jen. Soeharto (vide titik 2 di atas), maka saya tidak dapat secara langsung menghadap dengan tanpa seidzin May.Jen. Soeharto sebagai pengganti Pimpinan AD saat itu.
Atas dasar panggilan dari utusan-utusan tersebut di atas, sayapun berusaha mendapatkan idzin dari May.Jen Soeharto. Akan tetapi May.Jen Soeharto selalu melarangnya saya untuk menghadap Presiden/Pangti dengan alasan bahwa dia (May.Jen. Soeharto) tidak berani[/i] mereskir[/i] (menjamin,ed) kemungkinan tambahnya Jenderal lagi apabila dalam keadaan yang sekalut itu saya pergi menghadap Presiden. Saya tetap menaati perintahnya untuk tinggal di MBAD.
Atas dasar panggilan dari utusan-utusan tersebut di atas, sayapun berusaha mendapatkan idzin dari May.Jen Soeharto. Akan tetapi May.Jen Soeharto selalu melarangnya saya untuk menghadap Presiden/Pangti dengan alasan bahwa dia (May.Jen. Soeharto) tidak berani[/i] mereskir[/i] (menjamin,ed) kemungkinan tambahnya Jenderal lagi apabila dalam keadaan yang sekalut itu saya pergi menghadap Presiden. Saya tetap menaati perintahnya untuk tinggal di MBAD.
Kelima, pada malam hari berikutnya, yaitu pada tanggal 1 Oktober 1965
k.l. jam: 19.00 saya dipanggil rapat oleh Jenderal Nasution, KSAB di
Markas KOSTRAD untuk menghadiri rapat.
Kecuali Jenderal Nasution yang hadir, juga dihadiri oleh May.Jen Soeharto, May.Jen Moersyid, May.Jen Satari dan Brig.Jen Oemar Wirahadikusumah.
Jenderal Nasution secara resmi menjelaskan, bahwa saya mulai ini hari
ditunjuk oleh Presiden/Pangti untuk menjabat sebagai carataker
Men./Pangad, yang selanjutnya menanyakan kepada saya bagaimana pendapat
saya secara pribadi.
Saya menjawab, bahwa sampai saat itu saya sendiri belumlah menerima pengangkatan secara resmi secara hitam di atas putih. Maka saya berpendapat agar sementara waktu belum dikeluarkannya pengangkatan resmi (tertulis) dari Presiden/Pangti entah nantinya kepada siapa di antara kita, lebih baik kita menaruh perhatian kita dalam usaha menertibkan kembali keadaan yang darurat pada saat itu yang ditangani langsung oleh Pang.Kostrad (May.Jen Soeharto) yang juga kita percayakan untuk sementara menggantikan pimpinan AD.
Akan tetapi mengingat pada saat itu suara dan kesan dari media massa yang memuat berita-berita adanya usaha untuk menentang keputusan Presiden/Pangti tentang penunjukkan saya sebagai carataker Men./Pangad. Maka oleh Jenderal Nasution saya diminta agar pada tanggal 2 Oktober 1965 pagi mengadakan wawancara pers yang direncanakan di Senayan. Saya bersedia.
Saya menjawab, bahwa sampai saat itu saya sendiri belumlah menerima pengangkatan secara resmi secara hitam di atas putih. Maka saya berpendapat agar sementara waktu belum dikeluarkannya pengangkatan resmi (tertulis) dari Presiden/Pangti entah nantinya kepada siapa di antara kita, lebih baik kita menaruh perhatian kita dalam usaha menertibkan kembali keadaan yang darurat pada saat itu yang ditangani langsung oleh Pang.Kostrad (May.Jen Soeharto) yang juga kita percayakan untuk sementara menggantikan pimpinan AD.
Akan tetapi mengingat pada saat itu suara dan kesan dari media massa yang memuat berita-berita adanya usaha untuk menentang keputusan Presiden/Pangti tentang penunjukkan saya sebagai carataker Men./Pangad. Maka oleh Jenderal Nasution saya diminta agar pada tanggal 2 Oktober 1965 pagi mengadakan wawancara pers yang direncanakan di Senayan. Saya bersedia.
Keenam, tanggal 2 Oktober 1965, menjelang waktu saya akan mengadakan wawancara pers, maka tiba-tiba May.Jen
Soeharto dan saya mendapatkan panggilan dari Presiden/Pangti yang pada
saat itu sudah meninggalkan pangkalan udara Halim Perdana Kusumah dan
menempati kembali di Istana Bogor. Oleh karena itu, maka wawancara pers
saya tunda waktunya.
May.Jen Soeharto bersama saya dan Brig.Jen Soedirgo (Dan Pomad) segera berangkat menghadap Presiden/Pangti di istana Bogor. Di istana Bogor diadakan rapat di mana hadir pula Bpk. Leimena, Bpk. Chaerul Saleh, Martadinata, Omardani, Cipto Yudodiharjo, Moersyid, M.Yusuf, dan beberapa menteri lagi.
Keputusan rapat: Presiden/Pangti memutuskan, bahwa pimpinan AD langsung dipegang oleh Pangti, sedangkan May.Jen Soeharto diperintahkan untuk menjalani tugas operasi militer, kemudian kepada saya ditugaskan sebagai carataker Men./Pangad dalam urusan sehari-hari (Daily Duty).
May.Jen Soeharto bersama saya dan Brig.Jen Soedirgo (Dan Pomad) segera berangkat menghadap Presiden/Pangti di istana Bogor. Di istana Bogor diadakan rapat di mana hadir pula Bpk. Leimena, Bpk. Chaerul Saleh, Martadinata, Omardani, Cipto Yudodiharjo, Moersyid, M.Yusuf, dan beberapa menteri lagi.
Keputusan rapat: Presiden/Pangti memutuskan, bahwa pimpinan AD langsung dipegang oleh Pangti, sedangkan May.Jen Soeharto diperintahkan untuk menjalani tugas operasi militer, kemudian kepada saya ditugaskan sebagai carataker Men./Pangad dalam urusan sehari-hari (Daily Duty).
Ketujuh, tanggal 14 Oktober 1965, setelah melalui macam-macam proses kejadian, maka May.Jen
Soeharto diangkat menjadi kepala staf AD dengan membentuk susunan
stafnya yang baru. Kedudukan saya menjadi Pati diperbantukan kepada
KASAD.
Kedelapan, tanggal 16 Februari 1966 atas perintah KASAD May.Jen
Soeharto saya ditahan di Blok P Kebayoran Baru Jakarta dengan tuduhan
terlibat dalam G.30-S/PKI, dengan surat perintah penangkapan/penahanan No.37/2/1966, tanggal 16 Februari 1966.
Kesembilan, dengan perubahan status penahanan dari Ketua Team Pemeriksa Pusat, tersebut dalam surat Perintahnya No.Print. 018/TP/3/1966 saya mendapatkan perobahan penahanan rumah mulai pada tanggal 7 Maret 1966.
Kesepuluh, dengan Surat Perintah Penangkapan/Penahanan No.Print. 212/TP /1/1969, tanggal 4 Maret 1969 saya kembali ditahan di Inrehab NIRBAYA Jakarta yang tetap dalam tuduhan yang sama.
Kesebelas, dengan Surat Keputusan Menteri HANKAM/Panglima ABRI yang
tersebut dalam Surat Keputusan No. Kep./E/645/1I/1970, tanggal 20
November 1970, yang ditanda tangani oleh Jenderal M. Panggabean, saya
mulai dikenakan skorsing dalam status saya sebagai anggota AD, yang
berikutnya pada bulan Januari 1970 saya sudah tidak menerima gaji
skorsing dan hak penerimaan lainnya lagi. Sedangkan Surat Pemberhentian
ataupun Pemecatan secara resmi dan keanggotaan AD ini pun sampai
sekarang belum/ tidak pernah saya terima.
Keduabelas, atas dasar Surat Keputusan dari Panglima KOPKAMTIB yang tersebut dalam surat No.SKEP
/04/KOPKAM/I/1981, maka dalan pelaksanaannya oleh KA. TEPERPU tersebut
dalam Surat Perintahnya No. SPRIN,-481/1I/1981 TEPERPU, saya baru
dibebaskan dari tahanan pada tanggal16 Februari 1981.
Jadi kalau saya perhatikan tanggal, bulan dan tahun mulai dan
berakhirnya saya mengalami penahanan adalah selama waktu 15 (limabelas)
tahun, tanpa kurang atau pun lebih, yaitu dari tanggal 16 Februari 1966
sampai pada tanggal 16 Februari 1981.
Ketigabelas, selama waktu saya ditahan, sepanjang waktu limabelas
tahun itu, saya merasa belum pernah mengalami pemeriksaan melalui proses
dan pembuatan berita acara yang resmi. Saya hanya menjalani interogasi
secara lisan, yang di lakukan oleh Tim Pemeriksa dari TEPERPU pada tahun
1970. Sesudah itu saya tidak pernah diinterogasi lagi, sampai saatnya
saya dibebaskan pada 16 Februari 1981.
Keempatbelas, untuk waktu berikutnya, maka apa, di mana, dan
bagaimana yang dapat saya perbuat/lakukan sebagai seorang yang tanpa
berstatus, polos selagi telanjang tanpa hak milik materi barang sedikit
pun yang bernilai, yang memungkinkan untuk melanjutkan amal- kebaktian
saya pada Tanah Air dan Bangsa, yang pernah saya rintiskan dalam turut
serta mulai Perang Kemerdekaan 1945 yang tanpa absen itu? Segala penjuru
lapangan kerja tertutup untuk kehadiranku, justru aku dipandang sebagai
orang yang beratribut bekas tahanan G.30-S /PKI, bahkan mungkin menurut
persepsi mereka, saya ini sebagai “dedengkot” nya G.30-S/PKI dari
segala aspek.
Saya harus berani menelan pil, yang sepahit ini, dan harus pula
berani membaca kenyataan dalam hidup dan penghidupan saya yang telah
menjadi suratan dan takdir llahi kepada saya sebagai umatnya. Manusia
tak kuasa mengelak dari segala apa, yang telah dikehendakkan-Nya dan
digariskan-Nya, justru DIA -lah sebagai SANG MAHA DALANG, yang
memperagakan umatnya sebagai anak wayang di pentas pakeliran kehidupan
dunia ini.
Saya harus mengetahui diri, ditempat, di saat dan dalam keadaan apa
dan bagaimana saya ini. Saya harus dapat menguasai dan membunuh waktu,
betapapun kegiatan saya sehari hari itu saya utamakan lebih dahulu demi
kepentingan rumah tangga dan keluarga yang masih tersisa di rumah.
Terus terang saja kalau saya merasa malas dan enggan untuk berkunjung
dan berkomunikasi dengan bekas rekan perjuangan, teman atau pun kenalan
yang dahulunya saya anggap dekat/ akrab. Justru bagi mereka, yang tidak
mengetahui ujung-pangkal dalam duduk perkara, saya tiada setapak pun
mau maju mendekat dan bertatap muka secara hati ke hati. Kebanyakan lalu
pergi menyelinap dan menghindar, yang mungkin ada merasa takut disorot,
yang akibatnya dapat merugikan diri.
Namun tidak sedikit pula, bekas rekan-rekan seperjuangan dan
teman/kenalan, yang masih mau berkunjung ke rumah saya, sungguh pun
tempat tinggal saya sekarang ini di pinggiran kota, yang sebagian
perjalanannya harus ditempuh dengan jalan kaki. Di antaranya saya merasa
terkesan dengan kunjungan Letjen(P) Soedirman anggota Dewan
Pertimbangan Agung, yang pada suatu malam buta berkenan meluangkan
kakinya, untuk mengunjungi saya di rumah Kramatjati yang sesempit itu.
Saat pertama bersua kembali dengan saya, sedikitpun saya tidak melihat adanya perubahan wajah, sebagaimana wajah cerah amikal selagi sikapnya yang brotherly/fatherly, sebagaimana yang mula-mula saya mengenal beliau sebagai rekan Komandan Resimen yang tersenior. Beliau mengutamakan rasa kemanusiaannya dari pada rasa sebagai perwira tingginya. Beliau terkenal rajin berkunjung kepada keluarga anak buah, yang suaminya sedang mengalami penahanan, atau pun yang ditinggal bertugas operasi oleh suaminya. Beliau pun tidak ada rasa ragu mengunjungi bekas bawahannya yang berada dalam tahanan. Toleransi terhadap penderitaan teman atau pun anak buah bagi beliau tidak pernah menutup mata dan telinga, lepas dari persoalan atau pun perkara, yang sedang mereka pertanggung-jawabkan masing-masing.
Saat pertama bersua kembali dengan saya, sedikitpun saya tidak melihat adanya perubahan wajah, sebagaimana wajah cerah amikal selagi sikapnya yang brotherly/fatherly, sebagaimana yang mula-mula saya mengenal beliau sebagai rekan Komandan Resimen yang tersenior. Beliau mengutamakan rasa kemanusiaannya dari pada rasa sebagai perwira tingginya. Beliau terkenal rajin berkunjung kepada keluarga anak buah, yang suaminya sedang mengalami penahanan, atau pun yang ditinggal bertugas operasi oleh suaminya. Beliau pun tidak ada rasa ragu mengunjungi bekas bawahannya yang berada dalam tahanan. Toleransi terhadap penderitaan teman atau pun anak buah bagi beliau tidak pernah menutup mata dan telinga, lepas dari persoalan atau pun perkara, yang sedang mereka pertanggung-jawabkan masing-masing.
Sikap yang layak terpuji dan dihargai oleh khalayak orang timur,
kalau orang itu dapat berteladan pada panutan sikap dan sifat,
sebagaimana yang dimiliki Letjen(P) Soedirman itu. Maka kunjungan yang
semacam itulah yang selalu dapat membasahi, ibarat embun yang menyiram
hati saya.
Jakarta, 1 April 1989Pembuat catatan kronologis,
Ttd.
Pranoto Reksosamodra.
Sumber dari buku : Memoar Mayor Jendral Raden Pranoto Reksosamodra.
BAGIAN KE ENAMBELAS
Halaman 245 sampai dengan 255, ip
Penerbit Syarikat Indonesia. ISBN 979-96819-3-6
DITAHAN 15 TAHUN TANPA DIADILI
Dua pasukan tentara itu saling menodongkan senjata di muka sebuah rumah di Jl Taman Kimia nomor 3 Jakarta Pusat. Peleton Corps Polisi Militer (CPM) di sisi luar dan regu pengawal di dalam halaman rumah. Keduanya sudah dalam posisi siap tembak.
Mayor Jenderal Pranoto Reksosamodra keluar dari rumah. Dia melerai dua pasukan yang nyaris saling tembak di muka rumahnya.
Pranoto meminta komandan regu pengawalnya mundur. "Jangan ada sebutir peluru pun meletus!" teriaknya.
Pranoto lalu memanggil komandan peleton polisi militer. Dia marah. Merasa tersinggung dijemput seperti penjahat seperti itu. Pranoto tahu mereka diperintahkan Menteri/Panglima Angkatan Darat Mayjen Soeharto untuk menangkapnya setelah geger 30 September 1965.
"Aku bukan babi hutan atau harimau liar yang masuk kota. Bubarkan peletonmu itu dan aku akan berangkat tepat di tempat mana dan di saat kapan sesuai surat perintah Men/Pangad ini, dengan tanpa kalian kawal, barang seorang pun," tegas Pranoto.
Komandan polisi militer menurut. Dia dan pasukannya meninggalkan rumah Pranoto dengan bus militer.
16 Februari 1966, itulah episode awal penahanan Jenderal Pranoto. Perwira tinggi asal Bagelen, Purworejo ini kemudian menepati janjinya untuk datang sendiri ke tahanan polisi militer di komplek CPM Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Pranoto mengingat di tahanan itu ada seorang perwira tinggi Angkatan Udara Sri Mulyono Herlambang. Ada juga Bung Tomo, tokoh 10 November 1945.
{content-split}
Dalam interograsi awal oleh CPM, Pranoto tak terbukti terlibat G30S. Dia kemudian dipulangkan tanggal 7 Maret 1966 dan statusnya diubah menjadi tahanan rumah.
Dua tahun Pranoto menjadi tahanan rumah, dia merasa masalah ini sudah beres. Tiba-tiba 4 Maret 1969 Pranoto kembali ditahan di Inrehab Nirbaya. Pemeriksaan yang dilakukan hanya sebatas tanya jawab soal peristiwa G30S. Tak sekalipun dia dibuatkan berita acara pemeriksaan (BAP), apalagi dibawa ke pengadilan.
Tahun 1970 hingga 1975, Pranoto masih menerima gaji skorsing. Nilainya tak lebih dari Rp 7.500. Setelah tahun 1975, tak ada lagi uang seperser pun untuk jenderal bintang dua ini.
Pranoto menolak dituding terlibat G30S. Dia membeberkan bukti-bukti kepada tim pemeriksa pusat tak terlibat gerakan penculikan para jenderal tersebut. Dia berharap bisa menjelaskan secara utuh dan dibawa ke pengadilan untuk menepis tudingan tersebut.
Tapi Pranoto tak pernah diberi kesempatan membela diri. Dia menjalani penahanan di Inrehab Nirbaya dan Rumah Tahanan Militer Boedi Utomo. Pranoto baru bebas tahun 1981, tepat setelah 15 tahun ditahan tanpa proses pengadilan.
Pranoto merintis karir dari PETA, kemudian komandan Batalyon TNI, komandan resimen, hingga akhirnya menjabat asisten personalia Menteri Panglima Angkatan Darat. Dia tak pernah absen dalam perang mempertahankan kemerdekaan dan menumpas berbagai pemberontakan.
{content-split}
Saat Ahmad Yani diculik gerombolan Untung, Pranotolah yang ditunjuk Soekarno untuk menjadi pelaksana harian Angkatan Darat. Bukan Soeharto.
Kisah Pranoto menjadi menarik karena Soeharto rupanya menyimpan dendam pada mantan koleganya ini. Pranoto pernah membantu Tim AD membongkar kasus korupsi saat Soeharto menjadi panglima di Jawa Tengah.
Pranoto tak pernah dibawa ke persidangan. Dia mencatat seluruh pengalamannya selama ditahan dalam buku harian. Setelah puluhan tahun disimpan rapat keluarga, kini catatan itu disunting Imelda Bachtiar dan diterbitkan Kompas tahun 2014 dengan judul Catatan Jenderal Pranoto dari RTM Boedi Oetomo sampai Nirbaya.
Sebelumnya sebenarnya catatan Pranoto sudah diterbitkan secara terbatas tahun 2002.
"Saat pertama kali membacanya, tulisan Pak Pran jauh dari kesan amarah atau dendam. Catatan pribadinya banyak menggunakan falsafah Jawa. Banyak sisi hidup Pak Pran yang menarik," kata Imelda Bachtiar saat berbincang dengan merdeka.com pekan lalu.
{content-split}
Kisah Pranoto ini melengkapi teka-teki potongan misteri G30S yang tak pernah terungkap sempurna.
"Tulisanku ini bukanlah bermaksud menggugat suatu balas budi dari pihak yang berwenang atas sumbangsihku dalam pengabdian pada nusa dan bangsaku. Namun, kesemuanya ini merupakan goresan tuntutan bela diri. Aku menuntut rasa keadilan atas asas-asas Pancasila sebagai falsafah kehidupan bangsa dan negara kita, Indonesia tercinta ini."
Pranoto mungkin bukan putih tanpa cela. Tapi dia juga tak sehitam apa yang dituduhkan Soeharto.
Sejarawan Asvi Warman Adam menilai Pranoto terlempar dari puncak karirnya sebagai jenderal bintang dua dan kemudian menjadi pesakitan politik yang tidak jelas kesalahannya.
"Nama baik Pranoto perlu dipulihkan," tulis Asvi./MERDEKA.COM.
Mayjen Pranoto di antara Soekarno dan Ahmad Yani
Mayor Jenderal Pranoto Reksosamodra (1920an - 2006) adalah seorang tokoh militer Indonesia yang pernah menjadi Pangdam Diponegoro menggantikan Kolonel Soeharto. Pada Masa Men/Pangad Letnan Jenderal Ahmad Yani ia menjadi Asisten III bidang Personalia.
Karena Letnan Jenderal Ahmad Yani terbunuh pada peristiwa G30S maka dia ditunjuk oleh Presiden Soekarno untuk menjadi pejabat sementara Men/Pangad menggantikan Ahmad Yani dengan nama jabatan sebagai Petugas Urusan Harian Angkatan Darat.[1] Ia meninggal pada tahun 2006.
Dituduh gembong PKI oleh Soeharto, ini jawaban Jenderal Pranoto
Merdeka.com - Mayor Jenderal Pranoto Reksosamodra menjalani 15 tahun dalam tahanan Orde Baru. Dari tahanan sementara di Komplek Polisi Militer Kebayoran Baru, Nirbaya hingga Rumat Tahanan Militer Boedi Oetomo. Dia tak pernah dihadirkan ke pengadilan.
Soeharto menangkap Pranoto dengan tuduhan gembong PKI dan terlibat G30S. Namun selama dalam tahanan, Pranoto tak pernah diperiksa resmi. Dia hanya diwawancara oleh pemeriksa dari Team Pemeriksa Pusat (Teperpu).
Satu hal yang dituduhkan, Pranoto disebut berada di Halim untuk merencanakan peristiwa G30S pada tanggal 30 September 1965 malam. Setelah itu menjelang Fajar terbang ke Yogyakarta dengan pimpinan PKI Aidit dengan pesawat AURI.
Pranoto menepis tuduhan itu. Perwira tinggi AD ini mengaku tanggal 30 September dari sore hingga malam dia dan keluarganya menghadiri acara orkes simfoni Angkatan Darat di Cililitan.
Setelah itu dia pulang ke rumah dan ada tamu bernama Letkol Gunung. Baru ngobrol sebentar, datang tiga perwira menjemputnya ke Pasar Senen untuk meninjau sapi-sapi yang akan digunakan untuk kepentingan parade HUT ABRI tanggal 5 Oktober 1965.
Dia baru kembali pukul 01.00 WIB ke rumah dan tidur pukul 02.00 WIB. Pranoto meminta Teperpu menanyakan pada saksi penjaga rumah yang memegang kunci apakah setelah itu dia pergi ke luar rumah lagi.
Pranoto pun mengaku tak mungkin dirinya berangkat ke Yogya naik pesawat AURI pada dini hari. Buktinya pada pukul 06.00 WIB tanggal 1 Oktober 1965, sudah datang Kepala Departemen Psikiatri RSPAD Brigjen Amino ke rumahnya. Amino datang untuk melaporkan ada tentara yang menculik jenderal Ahmad Yani dan para pejabat teras Angkatan Darat.
Tak berapa lama kemudian, datang Brigjen Soedjono dan Kolonel CPM Hertasning ke rumah Pranoto.
"Sudilah kiranya pemeriksa juga mendengarkan keterangan-keterangan dari para saksi tersebut. Di samping itu pula saya mengharapkan dikonfrontir dengan orang-orang yang pernah memberikan keterangan yang saya anggap fitnah atau palsu itu," tegas Pranoto dalam catatan hariannya.
Catatan harian itu kemudian disunting Imelda Bachtiar dan diterbitkan Kompas tahun 2014 dengan judul Catatan Jenderal Pranoto Reksosamodra dari RTM Boedi Oetomo sampai Nirbaya.
Sejarawan Asvi Warman Adam menilai catatan Jenderal Pranoto yang sempat terkubur puluhan tahun ini bisa melengkapi misteri soal Pusaran G30S. Menjelaskan peran Pranoto yang selama ini berada di ranah hitam tanpa ada sedikit pun kesempatan membela diri.
Pranoto mungkin tak seputih kertas. Tapi dia tak sehitam jelaga yang dituduhkan Orde Baru.
"Abu-abu, itulah yang paling tepat," kata Asvi saat berbincang dengan merdeka.com.
Tudingan soal kehadiran Pranoto di Halim bukan satu-satunya. Berikut pertanyaan Tim Pemeriksa dan jawaban Pranoto yang dilakukan di Nirbaya dan RTM Boedi Oetomo antara 1969 sampai 1970:
1.
Dipertemukan dengan orang AURI
Merdeka.com - Tim pemeriksa belum puas dengan
keterangan Mayjen Pranoto soal bantahannya berada di Halim tanggal 30
September hingga 1 Oktober 1965. Maka tim pemeriksa memanggil dua saksi
dari Angkatan Udara (AURI) yang mengaku melihat Pranoto di Halim
kemudian terbang ke Yogyakarta bersama Audit.
Cara pemeriksaannya, Pranoto diminta duduk pada sebuah kursi. Kemudian dua pemeriksa yang tingginya hampir sama duduk di sebelah Pranoto. Mereka bertiga dipesan tak boleh bicara apapun kalau tak ditanya penyidik.
Setelah itu dua orang AURI itu disuruh masuk. Mereka adalah Mayor Udara Suyono dan Sersan Suwandi.
"Coba sekarang, yang manakah Jenderal Pranoto yang pernah bersama Aidit dalam jeep yang saudara kemudikan sendiri?" kata Kolonel Tahir, kepala pemeriksa.
Mayor Sujono yang menjawab. "Saya kira tidak ada di antara ketiga orang ini. Orang yang dikatakan sebagai Jenderal Pranoto itu berambut keriting dan lagi lebih gemuk tubuhnya. Tidak sejangkung seperti ketiga saudara ini."
Keterangan Sersan Suwandi pun sama. Kemudian terungkap yang disangka Jenderal Pranoto di Halim sebenarnya adalah ajudan Aidit yang bernama Kusno.
Cara pemeriksaannya, Pranoto diminta duduk pada sebuah kursi. Kemudian dua pemeriksa yang tingginya hampir sama duduk di sebelah Pranoto. Mereka bertiga dipesan tak boleh bicara apapun kalau tak ditanya penyidik.
Setelah itu dua orang AURI itu disuruh masuk. Mereka adalah Mayor Udara Suyono dan Sersan Suwandi.
"Coba sekarang, yang manakah Jenderal Pranoto yang pernah bersama Aidit dalam jeep yang saudara kemudikan sendiri?" kata Kolonel Tahir, kepala pemeriksa.
Mayor Sujono yang menjawab. "Saya kira tidak ada di antara ketiga orang ini. Orang yang dikatakan sebagai Jenderal Pranoto itu berambut keriting dan lagi lebih gemuk tubuhnya. Tidak sejangkung seperti ketiga saudara ini."
Keterangan Sersan Suwandi pun sama. Kemudian terungkap yang disangka Jenderal Pranoto di Halim sebenarnya adalah ajudan Aidit yang bernama Kusno.
2.
Penempatan Letkol Untung di Tjakrabirawa
Merdeka.com - Team Teperpu menanyakan pada Pranoto
benarkah dia sengaja menaruh Letkol Untung sebagai Komandan Batalyon
Cakrabirawa dan Kolonel Latief sebagai Komandan Brigade Kodam V/Jaya.
Kedua orang ini adalah aktor militer gerakan G30S.
Pranoto saat itu memang menjabat Asisten III/Men pangad bidang personalia.
Pranoto
mengaku bukan dia secara pribadi yang mengangkat para perwira tersebut.
Seperti biasa ada rapat dengan Mayjen Soeprapto, Mayjen S Parman, dan
beberapa perwira lain sebelum akhirnya Pranoto yang menandatangani surat
pengangkatan tersebut.
Untuk Letkol Untung, Pranoto menyebut itu
keputusan Mayjen Ahmad Yani saat Komandan Tjakrabirawa Brigjen Sabur
dan wakilnya Kolonel Saelan menghadap. Saat itu Pangkostrad Mayjen
Soeharto juga meminta Letkol Untung bertugas di Kostrad.
Akhirnya Yani menugaskan Untung di Tjakrabirawa untuk menghormati jasa-jasanya saat bertugas di Irian Barat.
Pranoto saat itu memang menjabat Asisten III/Men pangad bidang personalia.
Pranoto mengaku bukan dia secara pribadi yang mengangkat para perwira tersebut. Seperti biasa ada rapat dengan Mayjen Soeprapto, Mayjen S Parman, dan beberapa perwira lain sebelum akhirnya Pranoto yang menandatangani surat pengangkatan tersebut.
Untuk Letkol Untung, Pranoto menyebut itu keputusan Mayjen Ahmad Yani saat Komandan Tjakrabirawa Brigjen Sabur dan wakilnya Kolonel Saelan menghadap. Saat itu Pangkostrad Mayjen Soeharto juga meminta Letkol Untung bertugas di Kostrad.
Akhirnya Yani menugaskan Untung di Tjakrabirawa untuk menghormati jasa-jasanya saat bertugas di Irian Barat.
3.
3. Kenal Pono tokoh PKI dan pertemuan dengan Sjam
Merdeka.com - Team Teperpu menanyakan pada Pranoto benarkah kenal tokoh PKI bernama Pono dan apakah pernah bertemu dengan Sjam dan Aidit.
Pranoto membenarkan mengenal Pono sejak menjadi Panglima di Jawa Tengah. Perkenalannya biasa saja. Pranoto mengaku tugas seorang Panglima di Daerah untuk bergaul dengan politisi dari aliran mana pun.
Dia mengaku temannya juga banyak yang berasal dari Partai Nasional Indonesia, Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah hingga golongan Katolik.
"Janganlah dianggap saya mencari kenalan orang PKI. Dia duluan yang datang ke rumah saya," kata Pranoto.
Mengenai pertemuan dengan Sjam dan Aidit, Pranoto berkilah hal itu dilakukan dalam rangka tugasnya sebagai panitia pawai Angkatan Darat tanggal 5 Oktober. Pawai itu juga menampilkan golongan Agama, Nasionalis dan Komunis.
Ternyata golongan komunis mogok tak ikut pawai. Padahal draft rencna pawai sudah disetujui oleh Ahmad Yani dan Presiden Soekarno.
Pranoto pun mengontak Pono yang kemudian mengantarnya menemui Sjam. Di sanalah pertama kali Pranoto bertemu Aidit. Pranoto menegur Aidit soal massa PKI yang membatalkan sepihak hadir dalam pawai itu. Aidit beralasan massa PKI tak bisa ikut pawai karena harus mempertajam kewaspadaan.
Pranoto enggan memperpanjang pembicaraan. Dia meninggalkan rumah tersebut. Dia mengaku inilah pertama dan terakhir dia menemui Aidit.
4.
Tudingan Pranoto makan uang rampasan PRRI
Merdeka.com - Perseteruan Pranoto dan Soeharto
dimulai saat penyelewengan dana yang dilakukan Soeharto di Jawa Tengah
terungkap. Kolonel Soeharto sempat meminta pensiun karena malu. Saat itu
Pranoto yang memberikan fasilitas bagi tim pemeriksa Angkatan Darat
untuk bergerak di Jawa Tengah.
Saat angin politik pasca 1965 berbalik, Soeharto menangkap Pranoto. Salah satu tuduhan yang dialamatkan pada Pranoto soal penyelewengan uang rampasan perang PRRI yang jumlahnya ratusan juta saat itu.
"Sampai saat terakhir saya bertugas di Sumatera Barat, uang rampasan itu masih tetap berada di bagian keuangan Komando Operasi 17 Agustus. Sebagian telah saya perintahkan untuk pembiayaan RRI Padang, Rumah Sakit Umum Padang, Taman Makam Pahlawan Padang. Selain itu untuk membantu pembangunan Masjid Raya Padang serta Gedung Universitas Andalas."
"Andaikata ada sebagian uang itu yang masuk ke kantong saya sendiri, pastilah akan diketahui pula adanya harta kekayaan saya, entah yang berupa tanah atau rumah atau simpanan di bank. Andaikata itu ada, maka saya ingin mewakafkan harta kekayaan itu kepada para yatim piatu atau lebih untuk saudara pemeriksa sendiri," sindir Pranoto pada petugas pemeriksanya.
Saat angin politik pasca 1965 berbalik, Soeharto menangkap Pranoto. Salah satu tuduhan yang dialamatkan pada Pranoto soal penyelewengan uang rampasan perang PRRI yang jumlahnya ratusan juta saat itu.
"Sampai saat terakhir saya bertugas di Sumatera Barat, uang rampasan itu masih tetap berada di bagian keuangan Komando Operasi 17 Agustus. Sebagian telah saya perintahkan untuk pembiayaan RRI Padang, Rumah Sakit Umum Padang, Taman Makam Pahlawan Padang. Selain itu untuk membantu pembangunan Masjid Raya Padang serta Gedung Universitas Andalas."
"Andaikata ada sebagian uang itu yang masuk ke kantong saya sendiri, pastilah akan diketahui pula adanya harta kekayaan saya, entah yang berupa tanah atau rumah atau simpanan di bank. Andaikata itu ada, maka saya ingin mewakafkan harta kekayaan itu kepada para yatim piatu atau lebih untuk saudara pemeriksa sendiri," sindir Pranoto pada petugas pemeriksanya.
5.
Pengerahan pemuda rakyat untuk menumpas PRRI
Merdeka.com - Tim pemeriksa menanyakan kebijakan
Pranoto saat menumpas Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia
(PRRI) di Sumatera Barat. Saat itu Pranoto diduga merekrut unsur-unsur
dari Pemuda Rakyat untuk memerangi PRRI. Pemuda Rakyat adalah organisasi
underbouw PKI.Pranoto membenarkan peristiwa itu. Namun dia membantah hanya merekrut Pemuda Rakyat. Ada juga dari Pemuda Marhaen, dan unsur-unsur anti-PRRI lain.
"Kebijakan dalam operasi teritorial ini telah berjalan semenjak almarhum Jenderal Ahmad Yani waktu itu masih berpangkat kolonel, menjabat Panglima Operasi 17 Agustus yang pertama. Saya sebagai pengganti beliau melanjutkan kebijakan beliau, lagipula hal itu sudah diketahui oleh Kasad Jenderal AH Nasution sendiri," kata Pranoto.
Pranoto membantah tudingan kedua dimana dia dituduh merekrut anggota pemuda rakyat untuk masuk TNI. Menurut Pranoto saat di Sumatera Barat dia hanya bertugas memimpin operasi tempur. Dia tak punya kewenangan untuk merekrut prajurit.
Luar biasa Mas! Matur sebah nuwun sudah bersusah payah enukia ini. Bangsa kita sering dengan mudah PINGIN LUPA. Sebab mengingat ini semua, kita GAK BISA TIDUR. Betapa kita semua menanggung dosa.
BalasHapusMENULIS (maaf) bukan menukia
BalasHapus