SindoNews.com
Rendra Saputra
Selasa, 27 Agustus 2013 − 07:15 WIB
Hangabehi (kiri) - Tedjowulan (Kanan). (Foto: Istimewa)
Gonjang-ganjing pun melanda Keraton Solo. Pasalnya, tak diketahui siapa pewaris tahta selanjutnya yang bakal memimpin Kasunanan Surakarta berikutnya.
Berdasarkan informasi yang berhasil dihimpun Sindonews dari berbagai sumber, dari enam orang selir Paku Buwono XII ada sekira 35 anak yang tak diketahui siapa yang berhak menggantikannya. Dalam tradisi dan adat Jawa, pengganti raja yang meninggal adalah anak lelaki tertua dari permaisuri. Sementara, hingga Paku Buwono XII meninggal, ia tidak mengangkat seorang permaisuri.
Perebutan tahtapun terjadi antara Hangabehi dan Tedjowulan, yang lahir dari ibu yang berbeda. 'Pertempuran' memperebutkan tahta pun mencapai puncaknya ketika Agustus 2004, kubu Tedjowulan mengukuhkan diri sebagai Paku Buwono XIII.
Penobatan Tedjowulan dilakukan di Ndalem Sasana Purnama, Kota Barat Mangkubumen, atau sekira enam kilometer dari kompleks Keraton Surakarta. Pengukuhan dilakukan di luar keraton karena hari itu kubu Hangabehi menggembok pintu gerbang keraton.
Sebulan kemudian, kubu Hangabehi melakukan tindakan sama: melantik KGPH Hangabehi juga sebagai Paku Buwono XIII. Raja kembar pun muncul Kota Solo. Sejak itu, konflik makin runcing, bahkan terus berlanjut hingga kini, delapan tahun setelah ayah mereka berdua mangkat.
Perseteruan itu berdampak pada kelangsungan hidup keraton. Berbagai bantuan untuk perawatan dan pengembangan budaya yang selama ini diterima, baik dari Pemerintah Provinsi (Pemrov) Jateng maupun Pemerintah Kota (Pemkot) Surakarta, menjadi terhenti. Pemerintah Daerah (Pemda) selalu meminta agar persoalan dua raja itu diselesaikan terlebih dahulu sebelum dana bantuan dapat dicairkan.
Proses rekonsiliasi pun pernah dilakukan. Rekonsiliasi tersebut dilakukan di sebuah hotel di Jakarta, lengkap dengan foto penandatanganan semacam akta rekonsiliasi. Tampak Hangabehi dan Tedjowulan menghadap ke sebuah kertas yang dibentangkan di meja. Rekonsiliasi tersebut disaksikan langsung Wali Kota saat itu Joko Widodo (Jokowi) dan anggota DPR, Mooryati Sudibyo.
Dalam akta rekonsiliasi saat itu, disepakati Hangabehi tetap menjadi raja, dengan gelar sama, SISKS Paku Buwono XIII. Sementara Tedjowulan “rela” menjadi mahapatihnya, dengan gelar KGPH Panembahan Agung.
Namun yang sempat menyita perhatian publik saat itu adalah rekonsiliasi ini terjadi setelah PB XIII Hangabehi tersangkut isu child trafficking, dan karena itu ada wacana yang bersangkutan terancam dicopot jabatannya oleh pemangku adat, dalam hal ini yang berperan biasanya lembaga hukum keraton yang digawangi mantu dalem, KP Eddy Wirabhumi, suami GKR Wandansari.
Adanya pemangku adat ini mucul setelah pasca rekonsiliasi PB XIII Hangabehi tidak pernah pulang ke keraton. Keberadaannya pun tak pernah diketahui saat itu. Hingga anak-anaknya kandungnya sendiri pun mempertanyakan keberadaan sang ayah. Hangabehi seolah-olah hilang dari pusaran Keraton, lepas dari orang-orang yang selama ini selalu ada di sekitarnya, dan seolah berbalik arah, mendukung kubu sebelah.
Keberadaan Raja yang tidak jelas ini agaknya tak disia-siakan oleh dinasti yang tinggal di dalam lingkup keraton, yang selama ini secara de facto adalah penguasa sebenarnya Keraton Solo.
Di tengah hilangnya Raja, terdengar kabar pemangku adat mengangkat GPH Mangkubumi, anak tertua Hangabehi, menjadi putra mahkota. Padahal faktanya, Hangabehi belum wafat. Sehingga media menyebut manuver ini sebagai kudeta.
Hingga konstelasi politik Keraton Solo pun kini berubah. Bila semula ada kubu PB XIII Hangabehi dan kubu PB XIII Tedjowulan, sekarang pascarekonsiliasi kubu itu bukannya hilang. Hanya berubah konstelasi. Kini terbentuk kubu baru, yaitu kubu Hangabehi-Tedjowulan dan kubu pemangku adat Keraton.
(rsa)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar