Menurut M.A Salmoen dalam bukunya Pedalangan Di Pasoendan dan dalam Kitab Filsafat dan Masa Depan Pewayangan
karya Ir. Moelyono, Mahabharata berasal dari cerita bangsa Aria, yaitu
suatu bangsa yang mendiami tanah dataran tinggi Kasymir di India utara
yang bernama Wedda. Kitab Mahabharata yang berasal dari cerita rakyat,
berubah menjadi cerita mitos yang disetarakan dengan kitab-kitab lainya
di India, seperti Jayur wedda, rig wedda, sama wedda dan lain-lainya.
Pada awal abad ke 20, kitab Mahabharata telah diterjemahkan ke dalam +
300 bahasa sehingga hampir seluruh dunia mengenalnya. Asal mula cerita
itu ditulis dalam bentuk puisi yang disebarkan secara lisan dan
turun-temurun, kemudian setelah manusia bisa menulis dan membaca barulah
dijadikan cerita tertulis yang disusun dengan bahasa yang indah dalam
bentuk puisi dan prosa.
Kedua cerita tersebut kadang-kadang dikaburkan oleh pendapat- pendapat
atau pengertian yang campur aduk, karena perkembangan kedua cerita itu
tidak terlepas dari pengaruh dan perubahan zaman, seperti perubahan
politik, perubahan kepercayaan, perubahan sosial ekonomi dan
lain-lainya, yang kemajuan alam pikiran manusia mempengeruhi
perubahan-perubahan itu. Pada zaman Majapahit dan zaman-zaman
sebelumnya, cerita wayang bertindak sebagai sumber penyebaran ajaran
agama Hindu. Tetapi pada zaman Islam digunakan sebagai media
pengembangan dan penyebaran agama Islam yang tentu berbeda maksud dan
tujuannya, baik dalam pengertian maupun dalam falsafahnya.
Kitab Mahabharata ini sering juga disebut Asthadasaparwa. Astha berarti
delapan, dasa berarti sepuluh, parwa berarti bagian atau bab. Jadi kitab
Mahabharata ini dibagi menjadi 18 bagian atau 18 parwa. Sebagian besar
menceritakan peperangan sengit antara Pandawa dan Kurawa selama 18 hari,
sehingga ada yang menyebut dengan nama yang lengkap yaitu kitab
Mahabharatayudda yang artinya peperangan besar antara keluarga Bharata
Kitab Mahabharata ditulis oleh Empu Wiyasa. Nyoman S. Pendita dalam
halaman pendahuluan Mahabharatanya menyebutkan bahwa Mahabharata
dikarang oleh 28 Wiyasa (Empu sastra) yang dipersonifikasikan sebagai
seorang Maharsi Wiyasa (kakek Pandawa dan Kurawa). Asthadasaparwa
artinya 18 parwa atau 18 bagian, diantaranya yaitu Adiparwa, Sabhaparwa,
Wanaparwa, Wirathaparwa, Udyogaparwa, Bismaparwa, Dronaparwa,
Karnaparwa, Salyaparwa, Sauptikaparwa, Striparwa, Santiparwa,
Anusasanaparwa, Aswamedaparwa, Asramawasanaparwa, Mausalaparwa,
Prasthanikaparwa, Swargarohanaparwa.
Dalam parwa yang pertama yaitu Adiparwa, dimuat beberapa macam cerita,
misalnya matinya Arimba, burung dewata mengaduk laut susu yang
menyebabkan keluarnya air hidup dan juga timbulnya gerhana matahari dan
bulan yang dalam ceritanya terungkap bulan yang ditelan oleh raksasa
yang hanya berwujud kepala. Ada juga cerita tentang Pandawa dan Kurawa
ketika masih kecil misalnya lakon Dewi Lara Amis, Bale si Gala-gala dan
cerita Santanu. Negeri Hastina yang rajanya bernama prabu Santanu
mempunyai anak bernama Prabata atau disebut juga Bisma yang artinya
teguh janji. Suatu saat prabu Santanu tertarik dengan kecantikan dewi
Satyawati. Padahal prabu Santanu sudah pernah sumpah tak akan kawin
lagi, hanya akan mengasuh sang Prabata saja.
Bisma pun mengetahui pula bahwa sang ayah telah bersumpah tak akan kawin
lagi. Namun demikian Bisma sangat iba hati melihat sang ayah prabu
Santanu jatuh cinta kepada dewi Satyawati yang hanya mau dikawini bila
keturunannya dapat naik tahta. Melihat gelagat yang kurang pas itu,
Bisma rela untuk melepaskan haknya sebagai raja pengganti sang ayah.
Bisma kemudian bersumpah akan hidup sendiri dan tidak menikah selamanya
(wadat). Ini berarti Bisma tidak menggantikan tahta ayahnya, agar sang
ayah bisa kawin dengan Satyawati. Pernikahan Santanu dengan Dewi
Satyawati berputra dua yaitu Citragada dan Wicitrawirya. Citranggada
tidak lama hidup dia mati muda maka Wicatrawirya yang menggantikan sang
prabu sebagai raja Hastina dengan istri dua dewi Ambika dan Ambalika
dari negara Kasi. Belum sampai punya keturunan prabu
Wicitrawirya meninggal. Oleh Satyawati Bisma disuruh mengawini kedua
janda itu, tetapi dengan tegas Bisma menolak. Kemudian dewi Satyawati
menyuruh anaknya si Abiyasa (Wiyasa) hasil perkawinannya dengan begawan
Parasara untuk mengawini si janda Ambika dan Ambalika dengan harapan ada
keturunan dari silsilah Bharata yang meneruskan menjabat sebagai raja
di negara Astina.
Dewi Ambika yang menikah dengan resi Wiyasa punya keturunan laki-laki
bernama Dretharastra yang sejak lahir menderita buta dan tidak bisa
menjadi raja. Sedangkan pernikahan antara Wiyasa dengan Dewi Ambalika
menurunkan anak laki-laki bernama Pandhu si muka pucat. Pandhulah yang
kemudian menduduki singgasana kerajaan Hastina. Pandhu menikah dengan
dua wanita yaitu Dewi Kunthi dan Dewi Madrim. Pernikahanya dengan Dewi
Kunthi berputra 3 laki-laki, yaitu Yudhistira, Bima, Arjuna. Sedangkan
pernikahanya dengan Dewi Madrim berputra 2 laki-laki, yaitu Nakula dan
Sadewa. Sehingga Prabu Pandhu mempunya 5 orang anak, dan kelima anak
tersebut disebut Pandawa.
Drestharastra akhirnya menikah dengan kakak perempuan Sangkuni yang
bernama Dewi Gandari dan mempunyai keturunan 100 orang. Ketika Pandhu
meninggal, Drestharastra terpaksa menggantikan raja sementara meskipun
buta. Drestharastra menjabat raja hanya sementara, inilah yang
menimbulkan perang besar Bharatayuda selama 18 hari yang memakan korban
sangat banyak.
Pada parwa yang kedua yaitu Sabhaparwa menceritakan tentang permainan
dadu hingga Pandawa menjalani hukuman. Usaha Kurawa untuk menghancurkan
Pandawa tidak pernah mau berhenti. Kali ini Pandawa yang sudah menempati
Indraprastha sebagai tempat berteduh diajak main dadu. Ternyata atas
kelicikan orang Kurawa, meskipun Yudhistira ahli main dadu, tetapi tetap
kalah karena tipu muslihat Sengkuni. Dalam permainan tersebut
Yudhistira juga menyerahkan dirinya untuk dijadikan taruhan, hingga
Yudhistira kalah dan menerima hukuman. Tetapi karena usaha Drestharastra
para Pandawa menjadi bebas.
Kurawa tetap menginginkan kehancuran Pandawa dan diajaknya main dadu
lagi dengan taruhan bila Pandawa kalah harus menjalani pembuangan selama
12 tahun dan tahun ke 13 mereka harus menyelinap atau bersembunyi. Jika
dalam penyelinapannya diketahui para Kurawa, Pandawa harus kembali ke
hutan selama 12 tahun lagi dan menyelinap pada tahun ke 13 dan
seterusnya.
Dalam Wanaparwa yaitu bagian yang ketiga ini mengisahkan
pengalaman-pengalaman Pandawa ketika berada dalam hutan buangan selama
12 tahun. Pernah para Pandawa menolong seorang desa yang akan dimakan
oleh seorang raja raksasa bernama prabu Baka dari negeri Ekacakra. Prabu
Baka mati terkena kuku Pancanaka Bratasena, perutnya sobek usus keluar.
Negeri Ekacakra tentram dan seorang yang tertolong itu berjanji akan
sanggup menjadi korban saji (tawur) ketika perang besar nanti terjadi.
Di samping itu dikisahkan pula bahwa Raden Arjuna juga pernah merukunkan
suami istri yang belum akur menjadi satu selama perkawinannya. Setelah
Raden Arjuna yang merukunkannya, maka orang tersebut sanggup menjadi
tawur pada perang besar nanti. Pada saat Pandawa dalam hutan buangan
sering menerima kehadiran para Brahmana yang hadir untuk mendoakannya.
Maharsi Wiyasa datang untuk memberikan nasehat-nasehatnya agar Arjuna
mau bertapa di gunung Mahameru untuk memohon senjata-senjata yang ampuh
dan sakti. Tapa Arjuna inilah yang menjadi bahan cerita Arjunawiwaha.
Parwa yang ke empat yaitu Wirathaparwa mengisahkan Pandawa sudah selesai
menjalani 12 tahun di hutan sebagai buangan. Maka mereka keluar dari
hutan ingin menyelinap sesuai perjanjian. Para Kurawa berpendapat bahwa
Pandawa pasti sudah mati dimakan binatang buas. Tetapi ternyata mereka
sudah berada di negeri Wiratha sebagai budak sang prabu Matsyapati.
Penyamaran yang dilakukan para Pandawa adalah sebagai berikut,
Yudhistira sebagai kepala pasar berpangkat tandha bernama Dwijangkangka,
Bratasena sebagai tukang menyembelih sapi (jagal) dengan nama Ballawa
dan ikut seorang jagal Walakas di desa Pajagalan. Arjuna diterima
sebagai abdi sang permaisuri dewi Sudisna bersama putri mahkota dewi
Utari, tugasnya mengajar tari dan sindhen bernama Kandhi Wrehatnala
dengan watak banci (wandu). Sedangkan Nakula dan Sadewa sebagai tukang
memelihara kuda dan tukang rumput (Gamel), bernama Grantika dan
Tantripala. Drupadi bernama Salindri sebagai pelayan sang permaisuri
dewi Sudesna dan merangkap sebagai penjual kinang di pasar. Penyamaran
Ini memang strategi mereka biar tidak jauh dengan Kandhi Wrehatnala, dan
pada saat keluar supaya mudah berhubungan dengan tandha Dwijangkangka
dan Jagal Ballawa serta Grantika dan Tantripala.
Meskipun di Wiratha sering mendapat marah oleh sang Prabu Matsyapati,
tetapi Pandawa sadar itu suatu perjalanan penuh kesabaran dan tawakal
(laku prihatin) yang harus dijalani. Mengabdi sebagai budak kerajaan
harus mau menerima apa adanya meskipun menerima siksa, dihina, dicerca,
meskipun benar dianggap salah toh mereka beranggapan bahwa kebenaranlah
yang akan mendapat anugerah.
Sabagai abdi mereka berenam dalam strategisnya mampu mengamankan negara
Wiratha yang sedang terancam bahaya, misalnya jagal Billawa mampu
membunuh tritunggal Kencakarupa – Praupakenca dan Rajamala. Sedangkan
Arjuna si Kandhi Wrehatnala mampu membunuh beribu-ribu tentara sekutu
Astina bersama para senapatinya sehingga negeri itu menjadi tenang dan
tentram. Setelah para budak bersembunyi dan menyelinap di Wirataha
selama satu tahun, barulah tahu dengan jelas bagi prabu Matsyapati yang
menyadari bahwa keenam bersaudara tersebut adalah para Pandawa yang
terhitung masih cucunya sendiri. Demikianlah kata para budak si Pandawa.
“Kakek Matsyapati, akulah cucu-cucumu Pandawa.” Seketika itu kemarahan Matsyapati menjadi kesabaran dan berjanji akan mengutamakan kebijaksanaan.
Udyogaparwa adalah parwa yang kelima mengisahkan bahwa pada tahun ke 14
Pandawa tak bisa dicari orang Hastina, apalagi para Kurawa yakin bahwa
Pandawa sudah mati. Maka orang Hastina cemas bahwa Pandawa kembali ke
Indraprastha. Di dalam bagian ke 5 ini Sri Kresna sebagai perantara
untuk minta separuh negara, tetapi Kurawa tidak rela. Oleh karena itu
tidak ada jalan lain, kecuali harus mempersiapkan diri untuk menghadapi
peperangan.
Pada parwa yang ke enam yaitu Bismaparwa dikisahkan bahwa perang
Bharatayuda sudah dimulai dan Bisma sebagai panglima perang Hastina dan
Dhresthadyumna sebagai panglima perang Pandawa akan berhadapan di medan
perang Tegalkurukasetra. Pembela Pandawa yang lain adalah dari negara
Wirata diantaranya adalah Seta, Utara, Wratsangka yang akhirnya ketiga
kesatriya tersebut gugur terkena panah Bisma.
Dalam perang besar Bharatayuda, kedudukan Sri Kresna sebagai penasehat
Pandawa dan pengatur siasat perang serta menjadi kusir atau pengendara
kereta Arjuna. Dikala Arjuna bimbang menghadapi musuhnya yaitu
saudara-saudara, guru, kakek, kakak, maka Sri Kresna memberikan nasehat
(wejangan) tentang hakekat dan kewajiban manusia secara mendalam.
Wejangan yang mendalam dan panjang itu merupakan bagian yang disebut
Nyanyian Tuhan (Baghawadgita).
Sepuluh hari pertempuran berlangsung, maka gugurlah Bisma. Ia tidak
terus mati, melainkan masih hidup beberapa lama lagi. Kemudian masih
mampu memberikan wejangan kepada kedua belah pihak yang bertikai.
Dronaparwa adalah bagian yang ke tujuh mengisahkan tentang begawan Drona
sebagai senapati Kurawa dan gugurnya Gathotkaca. Drona telah menjadi
panglima perang Kurawa. Sedangkan Karna mengamuk telah ditantang
Gathotkaca namun Gathotkaca gugur, Abimanyu anak Arjuna juga gugur oleh
Jayajerata. Raja Drupadapun gugur, sebagai seorang anak maka
Dhresthadyumna mengamuk dan pada hari ke 15 Drona gugur oleh
Dhresthadyumna.
Karnaparwa adalah parwa yang ke delapan. Pada bagian ke 8 ini juga
diceritakan Bima merobek dada Dursasana secara sadis dan meminum darah
Dursasana. Pada hari ke 17, Karna terbunuh oleh Arjuna hingga terpenggal
kepalanya.
Salyaparwa adalah bagian yang ke sembilan mengisahkan tentang Prabu
Salya raja Mandraka menjadi panglima perang Kurawa namun hanya setengah
hari gugur oleh tipu muslihat Nakula dan Sadewa. Hal tersebut dilakukan
oleh Nakula dan Sadewa karena perintah Sri Kresna sebagai dalang
Pandawa.
Dalam parwa yang ke sepuluh yaitu Sauptikaparwa, menceritakan perihal
Aswatama putra Drona. Karena dendam, maka pada malam hari yang
dinyatakan tidak perang itu, Aswatama masuk ke kemah-kemah membunuh
semua yang ditemuinya, di antaranya Dresthadyumna. Dalam parwa ini
diungkapkan bahwa Aswatama lari ke hutan dan berlindung di pertapaan
Wiyasa. Keesokan harinya datanglah Pandawa ke pertapaan Wiyasa. Dalam
pertemuan itu terjadi perang ramai antara Pandawa dan Aswatama yang
kemudian dilerai oleh resi Wiyasa dan Kresna. Aswatama menyerahkan
senjata dan kesaktiannya. Akhirnya Aswatama pergi menjadi pertapa.
Striparwa adalah bagian yang ke sebelas, mengisahkan tentang Prabu
Dhrestharastra, Pandawa, Kresna dan semua istri pada pahlawan datang di
medan Tegal Kurukasetra. Mereka mencari suaminya masing-masing dan hari
itu adalah hari tangis. Mereka menyesali kejadian itu. Semua jenasah
para pahlawan yang ditemukan dibakar bersama.
Pada bagian yang ke duabelas yaitu Santiparwa menceritakan para Pandawa
mencari pencerahan jiwa dan pembersihan diri. Sebulan lamanya Pandawa
tinggal di hutan untuk membersihkan diri. Atas petunjuk resi Wiyasa dan
Kresna, diharapkan Yudhistiraa agar mau memerintah di Hastina dan
didukung oleh adik-adiknya. Wiyasa dan Kresna memberi wejangan tentang
kewajiban dan kesanggupan manusia dan para ksatria sebagai generasi
penerus. Akhirnya Yudhistira mau menjadi raja di istana Hastina serta
mereka menunaikan tugas bersama.
Anusasanaparwa adalah bagian yang ke tigabelas. Parwa ini mengisahkan
kejadian-kejadian sebagai penutup Bharatayuda dan wejangan dari Bisma
terhadap Yudhistira. Dan akhirnya Bisma meninggal sesudah perang.
Dalam bagian yang ke empatbelas yaitu Aswamedaparwa mengisahkan prabu
Yudhistira pada saat mengadakan selamatan untuk naik tahta kerajaan
dengan cara membiarkan dan membebaskan kuda. Pembebasan kuda tersebut
dilakukan selama satu tahun dengan penjagaan ketat, bagi siapa yang
menggaggu kuda tersebut dihukum.
Asramawasanaparwa adalah bagian yang ke limabelas. Parwa ini mengisahkan
tentang Drestharastra yang menarik diri dari keramaian dan ingin hidup
di hutan dengan Gandari dan Kunthi juga ingin menjadi pertapa. Tetapi
setelah hidup di hutan selama satu tahun lalu mereka mati karena hutan
terbakar oleh api Drestharastra
sendiri.
Mausalaparwa adalah parwa yang ke enambelas. Parwa ini menceritakan
musnahnya kerajaan Dwarawati akibat berkobarnya perang saudara antara
kaum Yadawa atau bangsa kulit hitam (Wangsa Wresni). Wangsa ini lenyap
karena saling perang dengan menggunakan gada alang-alang. Baladewa mati,
Kresna lari ke hutan dan mati terbunuh dengan tidak sengaja oleh
seorang pemburu. Parwa ke tujuhbelas disebut Prasthanikaparwa. Parwa ini
menceritakan sesudah pemerintahan diserahkan ke cucunya Pandawa yang
bernama Prabu Parikesit, maka Pandawa lima bersama-sama Dropadi menarik
diri untuk menuju pantai. Satu demi satu mereka meninggal secara
berurutan dari Dropadi, kemudian dari yang muda Sadewa , Nakula, Arjuna,
Bima.
Tinggal Yudhistira dengan seekor anjing yang selalu mengikuti
pengembaraan pada Pandawa. Batara Indra datang menjemput Yudhistira
tetapi ditolak bila anjing tidak boleh ikut serta. Akhirnya anjingnyapun
diperbolehkan ikut, maka masuklah Yudhistira ke Indraloka bersama
Batara Indra. Sedangkan anjing itu masuk ke Sorgaloka berubah menjadi
Sang Hyang Batara Darma / Hyang Suci.
Swargarohanaparwa adalah bagian yang ke delapanbelas atau parwa yang
terakhir. Parwa ini menceritakan sewaktu Yudhistira ke Surga tidak
bertemu dengan saudara-saudaranya, dan juga dengan Dropadi. Justru malah
bertemu dengan kakak-kakaknya dari Hastina. Oleh karena itu dia mencari
ke Neraka dan bertemu dengan adiknya-adiknya dalam penyiksaan. Namun
dengan masuknya Yudhistira ke Neraka maka berbaliklah keadaannya. Neraka
dibalik menjadi Surga. Sedangkan Surganya orang-orang Kurawa telah
berbalik menjadi Neraka. Pandawa dan Dropadi tenteram di Sorgaloka.
Dalam kitab Swargarohanaparwa ini memerlukan pengamatan khusus yaitu
mengapa ada Nneraka dibalik menjadi Sorga? Sebaliknya mengapa ada Sorga
dibalik menjadi Neraka?
Demikianlah kisah dari 18 parwa dalam kitab Mahabharata. Masih banyak
sumber sastra lain seperti yang dibicarakan pada bagian sastra lakon.
Itupun juga berupa sumber sastra-sumber sastra yang dapat dipakai
sebagai sarana penggarapan lakon atau cerita dalam seni pertunjukan
wayang kulit purwa Jawa pada umumnya.